Mohon tunggu...
Purnama joko
Purnama joko Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Revisi UU KPK, Untuk Menguatkan KPK

8 Oktober 2015   17:48 Diperbarui: 8 Oktober 2015   18:08 823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kekuasaan cenderung untuk korup atau dalam bahasa Inggris disebut 'Power tends to Corrupt". Kalimat ini sudah lazim dan sering kita dengar, baik dalam diskusi, seminar, pidato maupun orasi-orasi yang disampaikan oleh pengunjuk rasa dalam menyampaikan pendapatnya untuk mengkritisi pemerintah, pejabat maupun penyelenggara negara lainnya.

Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku atau Kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhi.

Dalam pembicaraan umum, kekuasaan dapat berarti kekuasaan golongan, kekuasaan raja, kekuasaan pejabat negara. Sehingga tidak salah bila dikatakan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Robert Mac Iver mengatakan bahwa Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan jalan memberi perintah / dengan tidak langsung dengan jalan menggunakan semua alat dan cara yg tersedia. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, ada yg memerintah dan ada yg diperintah. Manusia berlaku sebagau subjek sekaligus objek dari kekuasaan. Contohnya Presiden, ia membuat UU (subyek dari kekuasaan) tetapi juga harus tunduk pada Undang-Undang (objek dari kekuasaan).

KPK adalah sebuah lembaga adhoc yang bertugas melakukan pencegahan dan penanganan tindak pidana korupsi yang dibentuk atas berdasarkan keputusan politik karena dimasa lalu penegak hukum seperti Polisi dan Jaksa dianggap tidak optimal dalam melaksanakan tugasnya dalam penanganan tindak pidana korupsi. Sebagai lembaga adhoc, KPK diberikan kewenangan yang besar dan superbody dalam segala hal, baik dibidang operasional dan bidang pembinaan sumberdaya. Segala hal ikhwal mengenai KPK-pun menjadi sebuah otoritas yang tidak boleh tersentuh dan disentuh oleh pihak lain.

Dalam pembinaan sumberdaya, pegawai KPK yang diangkat tidak dianggap sebagai Pegawai Negeri Sipil dan mereka tidak mau disebut PNS, tetapi pegawai KPK. Padahal gaji yang mereka terima bersumber dari keuangan negara. Bagaimana proses rekrutmen nya pun hampir tidak diketahui oleh publik. Dalam hal pengadaan barang dan jasa juga demikian, barang apa yang dibeli, bagaimana prosesnya dan studi kelayakannya juga tidak bisa diaudit oleh BPK / BPKP (malah ketua BPK Hadi Purnomo yang menemukan adanya penyimpangan penggunaan keuangan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan oleh KPK, justru dijadikan tersangka oleh KPK).

Dalam bidang operasional, apa yang dilakukan oleh KPK seakan menjadi tabu atau dosa bila dikritik. Bagaimana seorang Novel Baswedan memperlakukan Bupati Buol yang tidak manusiawi dan justru melanggar HAM didepan keluargannya saat penangkapan adalah DIBENARKAN, tidak ada satupun yang menyatakan bahwa tindakan tersebut SALAH. Bahkan Pengawas Internal KPK-pun enggan memprosesnya secara kode etik. Masih banyak pelanggaran-pelanggaran (abuse of power) yang telah dilakukan oleh KPK sejak berdirinya yang saat ini dirasakan sudah melampaui batas / tidak terkontrol dan cencerung digunakan sebagai alat kekuasaan dan alat politik oleh penguasa. Pimpinan KPK dan para pegiat anti korupsi selalu menyatakan bahwa kekuasaan cenderung untuk korup. Tetapi bila kalimat itu ditujukan kepada mereka, mengingat kekuasaan dan kewenangan yang luar biasa yang dimiliki oleh KPK mereka ramai-ramai menentangnya. Padahal jelas sekali terlihat didepan mata.

Dalam sebuah negara Demokratis (Indonesia negara demokrasi ?), hukum adalah panglima, dan kekuasaan / kewenangan yang dimiliki harus ada pengawasnya (supaya tidak terjadi abuse of power). Sesuai perkembangan jaman, di Indonesia pun berdiri lembaga-lembaga baru yang berfungsi untuk mengawasi lembaga negara. Sebut saja Komnas Ham, komisi kejaksaan, komisi yudisial, komisi kepolisian nasional, ombudsman, komisi pengawan persaingan usaha dan lain-lain, namun tidak ada satupun lembaga yang mengawasi KPK.

Akhir-akhir ini, Badan Legislasi DPR-RI kembali menyatakan akan Merevisi UU nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Perkembangannya saat ini berubah menjadi hak inisiatif anggota DPR-RI. Salah satu diantara empat fraksi yang setuju melakukan revisi, adalah Fraksi PDI-P dan dikemukakan bahwa revisi tersebut semangatnya adalah untuk memperkuat KPK dalam upaya pemberantasan korupsi.(bukan seperti anggapan KPK dan pegiat anti korupsi bahwa akan melemahkan KPK)

Salah satu alasannya bahwa UU KPK yang ada saat ini masih punya masalah kaitannya dengan upaya pemberantasan korupsi. Untuk itu, harapannya adalah agar terhadap beberapa kewenangan KPK ditinjau ulang. Diantaranya kewenangan penyadapan agar tak berimplikasi pelanggaran HAM. Juga tentang penuntutan agar sejalan kewenangan kejaksaan, serta KPK membentuk Dewan Pengawas. KPK-pun merasa dengan terbitnya draft revisi dari Kemenkumham adalah sebuah hal yang kontroversial.

Usia KPK hanya 12 tahun, KPK lupa bahwa undang-undangnya saja sudah menyebutkan bahwa lembaga ini adalah lembaga Adhoc yang artinya adalah sementara. Mengapa bersikeras dipertahankan ? karena disana banyak orang yang mencari makan, termasuk pegawai-pegawainya. Bila dibubarkan, lalu mereka akan bekerja dimana ? bila pegawai yang bersumber dari isntitusi bisa kembali ke institusinya, bila bukan ?

KPK tidak boleh menangani kasus korupsi dibawah 50 M, ini logis karena dengan kewenangan yang besar dan anggaran yang besar seharusnya KPK hanya menangani kasus korupsi diatas 50 M. Bukan seperti kasus yang melibatkan Gubernur Sumut, barang bukti yang disita tidak lebih dari 50 juta rupiah. Ini tidak sesuai dengan anggaran negara yang dikeluarkan (lebih dari 100 juta rupiah) dan ini adalah pemborosan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun