Penetapan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka pada bulan April 2017 lalu dianggap sebagai obat mujarab buat melanjutkan kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).
Media-media terhenyak, ekspektasi masyarakat pun dibuat membuncah sebab penetapan tersangka kasus BLBI ini dipandang sebagai sebuah langkah maju.
Semenjak itulah KPK semakin rajin pula memanggil saksi-saksi. Satu hal yang mereka persoalkan, yakni proses persetujuan pemberian surat keterangan lunas atau yang biasa disingkat SKL pada obligor BLBI. Kali ini, yang disasar adalah BDNI.
Tanpa bermaksud mengesampingkan semangat pemberantasan korupsi di negeri ini, upaya KPK menggali kembali kasus yang telah lama mengendap ini sedikit banyak menimbulkan pertanyaan. Yang jadi pertanyaan, utamanya kenapa yang total jadi sorotan itu satu obligor saja. Bukankah bukan hanya BDNI ini yang menerima SKL?
Dulu, BPPN sebetulnya juga memberikan putusan sama terhadap 21 obligor lainnya. Di antaranya Hendra Liem sebagai pemilik Bank Budi Internasional, the Ning King dari Bank Dana Hutama, Sudwikatmono dari Bank Subentra dan Bank Surya, Ibrahim Risjad selaku pemilik Bank Risjad Salim International, serta Soedono Salim dengan Bank Central Asia (BCA)-nya.
Lalu ada pula nama-nama kesohor lainnya seperti Siti Hardijanti Rukmana selaku pemilik Yakin Makmur Bank, Hashim Djojohadikusumo dengan Bang Papan Sejahtera-nya, juga Nirwan Bakrie selaku pemilik Bank Nusa Nasional dan Muhammad Bob Hasan dengan Bank Umum Nasional. Bagaimana dengan mereka? Bukankah pemerintah punya semua data 'ajaib' soal harta-harta mereka dan BLBI yang mereka rasakan juga?
Kala itu penyelesaian pembayaran BLBI dilakukan dengan tiga skema. Inti dari skema-skema hasil pembahasan pemerintahan BJ Habibie dengan IMF waktu itu adalah mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham, atau pemilik bank.
Hasil audit di tengah proses pembayaran, juga oleh BPK bersama tim 'pembantu' itu. Hasilnya menyebutkan aset yang diserahkan sudah sesuai dengan utang BLBI BDNI. Dengan kenyataan ini, tentu cukup mengherankan kalau BDNI
Perjanjian MSAA itu sendiri ditandatangani pada tanggal 25 Mei 1999. Dalam prosesnya, BPPN yang dipimpin Syafruddin itu memberikan SKL pada April 2004.