Mohon tunggu...
joko santoso hp
joko santoso hp Mohon Tunggu... Konsultan -

Pemerhati humaniora / Pernah di industri Advertising 18 tahun / Pernah "kesasar" di Senayan 5 tahun / Penggemar Sop Kaki Kambing

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Oase Jaya Suprana

1 Oktober 2015   13:14 Diperbarui: 1 Oktober 2015   16:08 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tenda besar yang bernama Indonesia itu tak lagi teduh. Pohon-pohon hijau rindang kohesi sosialnya mulai meranggas. Di jalan-jalan, di ruang-ruang sidang, di warung-warung begitu mudah kita menemukan orang-orang yang gampang meradang

Jutaan saudara-saudara kita kalah dalam perlagaan antar manusia. Mereka dipaksa oleh peradaban masuk ke dalam arena yang tak mereka pahami. Mereka terpental keluar dari gelanggang sirkuit kemanusiaan. Dengan kapasitas dan kemampuan lari dan mesin berbeda, mereka harus berpacu menempuh lap yang sama, di bawah hujan sorak-sorai penonton yang menyandang jubah kebendaan dan gaun hedonitas.

Para pecundang tercampak menjadi marjinal di tengah pembangunan, mengais-ngais keberuntungan sekadar untuk dapat bertahan hidup di tanah airnya sendiri. Mereka yang kalah besar kemungkinan akan kembali kalah, dan akan melahirkan generasi-generasi yang selalu kalah, sebagaimana teori dasar ilmu sosial yang mengatakan bahwa kemelaratan akan melahirkan kemelaratan.

Dan tepuk tangan selalu membahana bagi mereka yang menang.

Tiba-tiba saya lancang mengatakan bahwa Jaya juga merasakan apa yang saya rasakan. Atau dibalik, saya merasakan apa yang ia rasakan. Bahwa itu semua bukanlah wajah asli kita sebagai bangsa. Ia hanya bayang-bayang peradaban semu yang mengejawantah, dan tengah jumawa melangkahkan kaki raksasanya menuju beranda rumah kita. Kita tak kuasa menampik kehadirannya, karena sekat dan ruang privat kita sebagai bangsa akan segera meleleh.

Beruntunglah Jaya tidak membiarkan kami terus menangis. Ia juga mengungkapkan rasa takjubnya. Betapa seorang manusia Indonesia bernama Ismail Marzuki bisa menciptakan musik yang sangat indah. Padahal menurutnya, Ismail Marzuki sering melanggar kaidah-kaidah baku dalam seni musik. Jaya tahu persis itu. Ia benar-benar seorang maestro.

Resital musik yang tertata apik, sungguh bagai guru tua yang arif. Mengajarkan kita akan hakekat kerjasama. Bekerjasama, bukan sekadar bekerja bersama-sama. Juga menuntut kesediaan berkorban. Seberapa rela kita membuang ego individualitas demi kepentingan bersama?

Seperti Jaya. Junaedi dan Heru dalam sebuah lagu, rela diam sejenak untuk memberi kesempatan kepada Jubing untuk meraup tepukan publik dan menonjol sendirian memetik dawai gitarnya dengan mempesona. Atau peran sebagai Jaya yang duduk di depan piano malam itu, yang ikhlas membelakangi penonton sehingga wajahnya tak terlihat hingga pertunjukan usai.

Ketika bait terakhir “Halo-Halo Bandung’ yang dibungkus dalam nuansa March dan Polka usai, serentak kami semua berdiri memberikan standing applause. Si “Serba Bisa” Jaya Suprana dan tiga punakawan lainnya berdiri memberikan hormat kepada penonton.

Ketika kami pulang dan sampai di depan pintu rumah, handphone saya berdenting. Terbaca sms yang masuk: “Kami bahagia, dapat membawa bahagia bagi Anda dan isteri. Salam, Jaya Suprana”.

Membagi kebahagiaan, dengan rasa hormat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun