Yang agak sukar adalah bagi mereka yang memaknai kata "memiliki agama" atau "beragama" lebih dari sekedar makna administratif belaka.
Misalnya bagi mereka yang memaknai "beragama" lebih dalam yaitu sebagai "beriman' tentu tidak akan dengan mudah dan enteng mengungkapkan agamanya pada orang lain, terutama di saat keimanannya itu tidak dijalankannya dengan benar, dalam kebimbangan atau dalam situasi lainnya.
Di sisi lain, di berbagai penjuru dunia yang lain, sangat banyak negara yang tidak mewajibkan warganya untuk beragama. Di banyak negara lainnya masalah agama adalah ranah yang terpisah dari soal-soal yang diatur negara.Â
Dalam pergaulan internasional seperti ini, tentu asumsi bahwa "setiap orang beragama" tidak dapat begitu saja diterapkan. Pertanyaan "agamamu apa?" di pergaulan tersebut seringkali menjadi pertanyaan yang wagu alias janggal.
Kedua, pihak yang ditanya setuju bahwa informasi agama ada di ranah publik
Lagi-lagi sebuah kekhasan negeri 62:
Coba kita masukkan nama seorang pesohor ke mesin pencarian Internet, maka kemungkinan besar mesin tersebut secara otomatis menambahkan kata "agama"...
Ketertarikan kita orang Indonesia akan agama orang lain terutama pesohor merupakan tanda bahwa bagi sebagian besar dari kita, informasi agama berada di ranah publik.
Yang mengejutkan adalah apa yang baru saja terjadi dan viral di media sosial di mana seorang penyanyi cilik menyatakan pada seorang pemuka agama bahwa identitas agamanya ada di ranah pribadi atau privat.
Entah apa yang ada di benak sang bocah penyanyi cilik yang sedang sangat populer itu, tetapi menempatkan informasi agama dalam ranah pribadi bisa jadi disebabkan oleh pemahaman hidup beragama sebagai hidup beriman sebagaimana di poin pertama.
Hidup keimanan seseorang jelas berada dalam ranah pribadi. Kehidupan itu tentu tidak enteng untuk diungkapkan ke publik dan publik harus menghargai keputusan tersebut.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!