Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Bram Atjeh, Si Buaya Keroncong dan Macan Bola Nusantara!

3 Juni 2022   23:56 Diperbarui: 10 Juni 2022   05:38 2340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bram Atjeh: Sang Buaya Keroncong & Macan Bola Nusantara!(foto: Sumber Ria/kasetlalu.com)

Di antara para vokalis legenda musik keroncong di tanah air, ada satu nama besar yang menyimpan satu keunikan luar biasa dalam riwayat hidupnya.

Bram Atjeh atau Bram Aceh atau Bram Titaley adalah sang buaya keroncong itu. Keunikan Bram yang belum banyak diketahui khayalak adalah bahwa beliau adalah pemain sepak bola yang sangat andal!

Sebelum mengulik keahlian bolanya, ada baiknya saya bertanya dulu. Tahukah Anda lagu-lagu keroncong yang pernah beliau lantunkan dengan suaranya yang renyah dan sangat merdu itu?

Satu lagu yang sangat melekat dengan suara tenor beliau adalah lagu Keroncong (Kr.) Tanah Airku. Rasanya tidak ada biduan keroncong yang lebih pas dari pada Bram Atjeh untuk membawakan lagu yang sangat berkarisma karya Kelly Puspito (1930-2009) yang memenangkan sayembara cipta lagu jenis keroncong Bintang Radio RRI tahun 1956 (Abdul Rachman, 2013) ini. 


Hanya Kr. Tanah Airku saja? Tentu tidak. Ada banyak tembang keroncong yang 'bertandatangankan' suara emas Bram Atjeh. Bersamaan dengan menapaki sekilas kisah hidupnya, kita akan kembali mengenang beberapa tembangnya. 

Menurut Fatimah (2017), Abraham Titaley lahir di Aceh, 4 Maret 1913 dan merupakan putra dari Paulus Titaley, seorang serdadu KNIL yang bertugas di Kutaraja, Banda Aceh. Tidak banyak informasi yang tersedia tentang masa kecil atau remaja Bram Titaley di Aceh. Hanya Majalah Kartini No 240 tahun 1983 seperti dikutip steemit.com, yang menyebutkan bahwa Bram muda yang bertinggi tubuh 170 cm adalah pesepak bola yang aandal, yang juga sering bernyanyi di jalanan bersama teman-temannya. Menurut edisi majalah yang sama, Bram meninggalkan Aceh pada 12 Februari 1933.

Nama Bram Atjeh muncul di berbagai koran terbitan Batavia (Jakarta) kira-kira 2 bulan setelah ia meninggalkan Aceh. Salah satunya Bataviaasch Nieuwsblaad 8 April 1933 yang menampilkan iklan Kontes Akbar Keroncong se-Jawa Barat yang diadakan di malam yang sama di Krekot Park, Batavia yang akan diikuti oleh enam biduan kontestan termasuk Bram Atjeh.

Kontes Keroncong Akbar se-Jawa Barat 1933
Kontes Keroncong Akbar se-Jawa Barat 1933
Sangat menarik bahwa iklan itu menggelari Bram Atjeh yang akan menyanyi bersama orkes "De roep der liefde", sebagai kampioen Atjeh atau juara Aceh.

Hal ini menunjukkan bahwa pada masa hidupnya di Aceh Bram muda sudah sangat aktif sebagai biduan keroncong di tanah kelahiran dan masa kecilnya, Aceh.

Musik keroncong memang sedang naik daun di Hindia Belanda pada sepertiga pertama abad ke-20 tersebut. Kontes Keroncong (Krontjong Councours) sendiri sudah diadakan sejak di Batavia paling tidak sejak tahun 1915 (Bataviasch Nieuwsblaad, 26 Juli 2015).

Sejarah musik keroncong tidak bisa lepas dari episode masuknya para bekas budak dan bekas tentara Portugis ke nusantara lebih dari 300 tahun yang lalu yaitu pada pertengahan abad ke-17 yang disebut sebagai Mardijkers.

Keroncong menjadi semakin populer saat Komedie Stamboel (1891-1903), grup pentas teater dengan aktor dan artis orang-orang Eropa di nusantara mulai memasukan komposisi musik keroncong dalam pertujukan mereka.

Grup teater yang berdiri di Surabaya ini sangat terkenal pada masa peralihan abad 19 ke 20, bahkan sampai berpentas di Malaysia dan Singapura.

Sayang bahwa tidak ada informasi yang bisa penulis peroleh tentang siapa yang memenangkan Kontes Akbar Keroncong tahun 1933 itu.

Bram Atjeh dengan orkes "V.O.S" tercatat mengikuti kontes yang sama di tahun berikutnya yaitu 1934, di mana ia menjadi pemenang pertama dengan meraih nilai 176 mengalahkan 6 kontestan lainnya dan menggondol hadiah medali dan uang tunai 50 gulden (Bataviaasch Nieuwsblaad, 12 Maret 1934).

Kemenangan ini membawa Bram Atjeh dan orkes "V.O.S" masuk dapur rekaman piringan hitam (gramofon) di bawah perusahaan HIS Master Voice (Bataviaasch Nieuwsblaad, 3 April 1934).

Kembali penulis gagal menemukan tembang-tembang apa saja yang direkam pada piringan gramofon perdana Bram Atjeh yang direkam di gedung Arnhem (yang kini mungkin terletak di jalan Juanda, Jakarta) Batavia ini.

Selsnjutnya, Bram Atjeh bersama orkes "Jong Java" menjadi juara kedua pada Kontes Akbar Keroncong di tahun berikutnya, 1935 (Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch Indië, 9 Maret 1935). 

Tahun 1936, Kontes Akbar Keroncong mulai diadakan di Pasar Gambir di mana Bram bersaing melawan Wim Van der Mull, Iseger, Leo Spell, dan Paulus.

Masih bersama orkes "Jong Java", Bram kembali menjuarai kontes di Pasar Gambir itu pada tahun 1937 dan mendapat hadiah tunai 85 gulden (Bataviaasch Nieuwsblad, 9 April 1937).

Tidak diketahui apa aktifitas Bram Atjeh selama jaman penjajahan Jepang (1942-1945) dan masa perang kemedekaan (1945-1949).

Setelah perang kemerdekaan selesai, Bram Atjeh atau Bram Titaley tercatat rutin mengisi panggung nyanyi dan dansa di Prinsenpark (sekarang Lokasari, Jakarta) antara tahun 1949 dan 1952 bersama grup musik "The Manuella Boys" yang membawakan lagu-lagu berirama hawaiian atau lautan teduh.

Musik atau irama lautan teduh sendiri pada masa itu umumnya terdiri dari lagu-lagu dengan melodi khas kepulauan Polinesia di samudera Pasifik.

Di Indonesia, musik lautan teduh juga memuat keroncong dalam repertoire-nya. Hal ini membuat Bram Atjeh memiliki tempat tersendiri di panggung irama lautan teduh.

Penulis memperkirakan bahwa di tahun 50-an itulah Bram Titaley bertemu dengan sepupunya yaitu George, John, Arie dan Pieter de Fretes yang bersama biduanita Joyce Aubrey (istri George saat itu) merupakan sempalan dari the Royal Hawaiian Minstrels yang pada jaman Jepang disebut grup Suara Istana yang pada masa itu merupakan grup musik lautan teduh paling terkenal di nusantara.

George de Fretes, sang legenda musik yang di kemudian hari berkarir di Belanda dan Amerika Serikat, adalah pencipta lagu Schoon ver van jou yang dikemudian hari juga menjadi salah satu tembang keroncong yang sangat lekat dengan suara Bram Atjeh.


Nieuwsgier (31 Juli 1956) mencatat bagaimana Bram Atjeh meraih gelar juara I bintang radio RRI musik keroncong untuk kategori penyanyi pria pada tahun 1956.

Banyak tulisan dan artikel tentang kisah hidup Bram Atjeh pada periode-periode selanjutnya sebagai salah satu maestro keroncong dan irama lautan teduh ( hawaiian) di Indonesia bahkan sampai negeri Belanda. 

Kakek luar dari Harvey Malaiholo, Irma June, dan Glenn Fredly ini (Tirto, 3 September 2016) menhembuskan nafas terakhir  di Rumah Sakit Tebet, Jakarta pada 8 Mei 2001.

Bagaimana sepak terjang Bram Atjeh sebagai macan bola?

Di dunia sepak bola, masa aktif Bram Titaley meliputi masa Hindia Belanda di tahun 1930an sampai setelah masa perang kemerdekaan tepatnya paruh pertama tahun 1950an. Di kolom-kolom artikel sepak bola nama "Titaley"-lah yang dipakai dan bukan "Atjeh".

Pada sekitar 20 tahunan masa merumputnya, Bram Titaley hanya bermain untuk klub Sport Vereniging Jong Ambon (S.J.V.A) di Batavia (Jakarta) yang boleh dibilang adalah seksi ( afdeling) sepak bola dari pergerakan pemuda Jong Ambon.

Menurut Nanulaitta (2009), Jong Ambon berkompetisi di persatuan sepak bola Jakarta dan sekitarnya (Voetbalbond Batavia en Omstreken) yang disingkat V.B.O (kini Persija) dan masuk ke liga teratas sejak 1932.

Het nieuws van de dag voor Nederlandsch Indië terbitan 6 November 1933 mencatat salah satu pertandingan pertama Bram Titaley yang masuk sebagai sayap kanan menggantikan Dokter (!) Malaiholo saat Jong Ambon ditaklukan klub orang-orang Belanda, Hercules 0-4.

Jong Ambon sukses menjuarai liga V.B.O. pada musim kompetisi 1936-1937 lalu menjadi juara dua pada musim kompetisi 1937-1938.

Berbagai harian Hindia Belanda mencatat pemain-pemain inti Jong Ambon saat itu selain Bram Titaley, seperti Wim Tarumasely, Teterisa, One Huwae, J. Anakotta, Izaak (Tjaak) Pattiwael, A. Tetelepta, Hans Taihutu, dan Umar Saos.

Izaak (Tjaak) Pattiwael dan M.J. Hans Taihutu adalah dua pemain tim nasional Hindia Belanda yang tampil di Piala Dunia 1938 di Perancis, 

Kehebatan Bram Titaley dalam merumput tidaklah sembarangan. Bataviaasch Nieuwsblaad edisi 14 Agustus 1939 mengabadikan bagaimana Titaley terpilih untuk bermain dalam tim seleksi V.B.O.

Saat itu V.B.O. yang dikemudian hari menjadi Persija mengikuti Turnamen Pasar Gambir bersaing dengan tim pemain-pemain keturunan Tionghoa (Chineesch Bondelftal) dan Bandungsch Bondelftal yang kini menjadi Persib.

Di seleksi V.B.O. Bram Titaley bermain satu tim dengan kambratnya Izaak Pattiwael dan gelandang Frans Alfred Meeng yang bersama Pattiwael dan Taihutu, bermain di Piala Dunia 1938 di Perancis.

Di zaman Jepang terpaksa Jong Ambon berganti nama menjadi Bintang Timur. Di tahun 1946, Bintang Timur pecah menjadi Bintang Timur dan Jong Ambon. Pada tahun 1951, Jong Ambon berganti nama menjadi klub Maluku, atau lengkapnya Persatuan Olahraga Maluku (POM).

Harian de Nieuwsgier terbitan 20 Januari 1953 dan Indische Courrant voor Nederland 24 Januari 1953 memuat berita tentang suatu pertandingan antara dua kesebelasan yang dikenal memiliki banyak pemain Ambon di Jakarta yaitu klub "Maluku" melawan klub "Bintang Timur" yang dimenangkan Bintang Timur dengan skor 4-2. 

Bram Titaley dan Tjaak Pattiwael, yang tidak muda lagi dilaporkan memperkuat Maluku bersama Kalati, J. Anakotta, Simauw, dan penjaga gawang Vossenaer dan kemungkinan besar pertandingan ini adalah salah satu pertandingan terakhir yang dimainkan Bram Titaley alias Bram Atjeh sang Buaya Keroncong.

Sayang bahwa tidak ada dokumentasi foto atau filem yang merekam aksi Bram Titaley aka Bram Atjeh di lapangan sepak bola sebagai sayap kanan.

Sebaliknya, kita masih memiliki puluhan tembang keroncong yang dibawakan Bram Atjeh yang kini diabadikan di pelbagai media digital, mulai dari Als de Orchideen Bloeien (Bunga Anggrek) karya R. Soetedja Purwodibroto, Sapa Suru Datang Jakarta, Di Bawah Sinar Bulan Purnama, Kota Ambon, Kr Selabintana, Kr Telomoyo sampai Kr. Pasar Gambir.

Warisan suaranya yang merdu indah membawakan lagu-lagu itulah yang jadi satu-satunya cara kita mengenang uniknya seorang Bram Atjeh.

Baca juga:

Sam Saimoen Bariton Sejati Indonesia yang Riwayatnya Tak Terdokumentasi


Ini Tiga Manfaat Mendengar Keroncong!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun