Pada tahun 1960, ekonom Belanda, Dr Albert Winsemius memimpin satu tim peneliti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melihat potensi industri (calon) negara Singapura (HistorySG, 2014).Â
Di bawah the Commonwealth alias Persemakmuran, pada masa itu, kecuali dalam urusan luar negeri dan bidang pertahanan, Singapura baru saja memperoleh status otonomi dari Kerajaan Inggris untuk membentuk dan melakukan sendiri pemerintahannya dalam segala hal.
Di buku Forging a Singaporean Statehood, 1965-1966: The Contribution of Japan (hal 125), Dr. Robin Ramcharan (2002) mengulang lagi apa yang menjadi kesan bagi Dr Winsemius tentang situasi Singapura saat itu:
Saat itu (di Singapura) sering terjadi huru-hara tanpa sebab. Di berbagai tempat, hampir setiap hari selalu terjadi kekacauan berlatar belakang gerakan komunis. Pada awalnya sulit bagi tim kami untuk memberikan penilaian atas situasi tersebut. Namun setelah beberapa bulan, rasa pesimis semakin tumbuh kuat di antara anggota tim. Kami menyaksikan bagaimana suatu negara bisa hancur tanpa sebab yang jelas. Pendapat umum yang beredar saat itu mengatakan bahwa Singapura sedang menuju kehancurannya. Singapura tidak lebih dari sekedar pasar kecil yang miskin di satu sudut gelap di Asia (Singapore is going down the drain, it is a poor little market in a dark corner of Asia).
Kini, hampir 57 tahun sejak kedatangan tim PBB di bawah Winsemius, Singapura telah berubah dari sekedar pasar kecil miskin di satu sudut gelap di Asia menjadi negara dengan tingkat produk domestic bruto (PDB) per kapita ke-14 tertinggi di dunia (data Bank Dunia), sekaligus negara dengan tingkat daya saing nomor tertinggi di dunia menurut World Economic Forum 2019 (WEForum, 2019).
Bagaimana mungkin suatu negara yang hampir 6 dekade yang lampau hanyalah suatu pulau pelabuhan penangkapan ikan yang kecil, tak punya sumber daya alam, yang mengalami banjir imigran dengan situasi politik yang labil kini menjadi salah suatu negara termakmur di dunia?
Ekonom John Rawls yang terkenal dengan bukunya Justice as Fairness menyatakan bahwa satu-satunya 'takdir' dalam hidup manusia adalah bahwa manusia tak dapat memilih di mana, di keluarga apa dan kapan ia dilahirkan.
Hal yang sama berlaku bagi negara Singapura. Negara ini dan rakyatnya pada awal tahun 60an tidak bisa memilih situasi maupun waktu di mana negara itu mencapai kemerdekaannya: masa yang kacau, faktor ekonomi yang jauh dari mendukung dan sebagainya.
Apa yang dilakukan Singapura selanjutnya adalah "melawan takdir".
Melihat situasi kecilnya pasar domestik dan langkanya sumber daya alam, langkah awal yang dilakukan Singapura segera setelah merdeka pada tahun 1965 adalah industrialisasi dan penciptaan pekerjaan untuk menangkap cepatnya pertumbuhan penduduk masa itu. Cara tercepat yang dilakukan adalah mengutamakan industri berorientasi ekspor dan menarik sebanyak mungkin perusahaan asing untuk berinvestasi di negara pulau tersebut.
Sebagai negara orok yang baru merangkak, pada tahun 1973, Singapura pun terkena imbas krisis minyak Timur Tengah di mana harga minyak dunia meroket empat kali lipat dan perekonomian dunia masuk ke salah satu masa resesi terberat. Pertumbuhan PDB Singapura anjlok sepertiganya dari 13.5% per tahun di tahun 1972 menjadi 4.5% di tahun 1975.
Menghadapi hal itu strategi Singapura berubah dengan orientasi lebih diarahkan pada otomatisasi industry dan kegiatan ekonomi di sector jasa. Produktifitas juga digenjot berbarengan dengan mekanisasi.
Selanjutnya resesi tahun 80-an dan resesi ekonomi Asia di tahun 1997 membuat orientasi ekonomi Singapura berubah lagi dari ekonomi berlandaskan produktifitas dan efisiensi menuju ekonomi berlandaskan innovasi hingga hari ini.
Pada Singapore Economi Review Conference 2015, Menteri kedua bidang urusan dalam negeri dan perdagangan Singapura, Iswaran mengungkapkan bahwa dengan ekonomi berlandaskan innovasi berarti Singapura harus selalu berhasil mengidentifikasi dan membangun area-area baru di bidang industry, ilmu kesehatan terapan, solusi masalah perkotaan, logistik, penerbangan dan jasa keuangan.
Salah satu hal yang mendukung ekonomi berbasis innovasi adalah kesadaran rakyat Singapura akan pentingnya berinvestasi di sector pendidikan.Â
QS World University Ranking 2022Â mencatat bagaimana dua Universitas di Singapura menduduki posisi-posisi yang sangat tinggi: untuk periode 2021/22 National University of Singapore atau NUS bercokol pada posisi ke-11 sementara Nanyang Technological University atau NTU berada di posisi ke-12.Â
Jika hari ini Singapura tercatat sebagai negara terbersih ke-4 di dunia dalam hal korupsi (Indeks CPI atau Corruption Perception Index, Transparency International, 2022 ), selama 14 tahun berturut-turut tercatat oleh Bank Dunia sebagai negara dengan peringkat 1 dan 2 dalam iklim investasi atau "ease of doing business" maka hal tersebut adalah hasil dari resep melawan takdir di atas.Â
Segera bergerak dari ekonomi berbasis faktor sumber daya alam dan manusia ke arah ekonomi berbasis produktifitas dan akhirnya ekonomi berbasis innovasi. Hal ini yang membuat posisi Singapura sebagai hub perekonomian di Asia sulit digoyahkan.Â
Terpaan pandemi selama 2020 sempat membuat pertumbuhan PDB enegara itu hanya di kisaran -0,4 sampai -0,1 persen saja (MTI, 2021).Â
Namun demikian, pembukaan kembali negara tersebut paska pandemi tentu membuat negara bersimbol hewan chimera berkepala singa berekor ikan itu kembali menjadi tujuan yang sangat menarik dan layak untuk dikunjungi, tidak hanya untuk pebisnis, Â wisatawan tapi juga ulama.
Akhirnya, sebelum mengunjungi negara pulau kota itu untuk mempelajari segala rahasia kesuksesannya atau untuk sekedar jalan-jalan menikmati segala ketertibannya, negara itu menuntut satu hal, yaitu keterbukaan pikiran dan cara pandang kita para pengunjung.Â
Terbuka untuk melihat dan kemampuan menghargai perbedaan, karena negara pulau kecil itu memang dibangun atas dasar perbedaan dengan 5 grup etnisnya, 4 bahasa resminya dan 7 agamanya yang diakui secara hukum.
Satu hal yang dituntut Singapura sebagai tuan rumah, dan kita sebagai tamu harus menerima dan menghormati.
Baca juga: Bram Atjeh, Sang Buaya Keroncong Nusantara yang Macan Bola!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI