Kepusingan Lebaran terpecahkan!
Tidak ada juru masak? H O C O
Baboe pulang ke udik? H O C O
Warung langganan pada tutup? H O C O
Ditinggal tukang sayur? H O C O
Rumah makan HOCO mengatasi segalanya.
Harga dan pelayanan a la Belanda
Buka dari pagi jam 8 sampai jam 12 malam
Rijswik 1, di sudutan Park Hotel (no telepon 2278)
Begitu kira-kira bunyi iklan rumah makan HOCO di koran Bataviaasch nieuwsblad edisi Rabu, 25 Januari 1933.Â
Lantaran di jaman kolonial dulu, pengantaran makanan berbasis aplikasi telepon genggam belum ada, maka restoran alias lunchroom HOCO pun melihat peluang bisnis.Â
Di saat para  baboe(dibaca babu) dan semua asisten yang lainnya, termasuk tukang sayur dan warung langganan serentak tutup karena merayakan hari raya Idul Fitri atau karena pulang ke udik alias mudik, maka para tuan dan nyonyah Belanda pun kelimpungan.
Rumah makan HOCO yang saat itu terletak di Park Hotel, sekarang Hotel Sriwijaya di Jalan Veteran I, Jakarta Pusat, seperti menebak kerisauan, haru biru para toewan dan njonjah Belanda yang tinggal di Jakarta saat itu.Â
Lebaran 1351 Hijriah pada tahun 1933 itu jatuh pada hari Sabtu 28 Januari dan beberapa hari sebelumnya, seperti yang sekarang juga terjadi, para babu, dan semua asisten lainnya pulang ke (oedik) udik alias mudik.
Galau dan haru-birunya keluarga-keluarga Belanda ditinggal babu, juru masak, tukang sayur dan warung langganan saat itu digambarkan sebagai "weeen".Â
Weeen adalah kata yang umumnya dipakai untuk menggambarkan rasa sakit atau rasa mulas karena kontraksi saat seorang perempuan akan melahirkan. Sakitnya dan galaunya luar biasa, mulasnya gila-gilaan. Mungkin jaman sekarang hal itu akan disebut sebagai Lebaran Blues.
Siapa para babu atau ditulis baboe itu sebenarnya?
Dari sudut pandang penutur bahasa Indonesia, istilah babu dikenal sangat akrab dengan konotasi yang berbau diskriminasi. VOI (2020) misalnya, menyimpulkan bahwa banyak orang yang menyakini istilah ‘babu’ mengandung unsur antikemanusiaan yang berat. ‘Babu’ dikenal luas sebagai istilah yang merendahkan dan diskriminatif, sehingga layak disingkirkan dari tutur kata orang beradab.  Dalam sebuah artikel di Tempo, Hairus Salim (2013) menyebutnya ada kesan feodalistik dan diskriminatif dalam penggunaan kata ini. Wajar jika jongos dan babu, walau pun kata yang resmi dalam kamus, namun nada diskriminatifnya masih sangat terasa—bahkan sekalipun kata-kata ini dilepaskan dari konteksnya.
Babu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia daring (KBBI) terdefinisi sebagai perempuan yang bekerja sebagai pembantu (pelayan) di rumah tangga orang; pembantu rumah tangga.Â
Lalu bagaimana orang Belanda memahami kata baboe pada jaman penjajahan?
Menurut Beelen dan van der Sijs (1997), kata baboe yang pertama kali terdokumentasi pada pertengahan abad ke-19 merupakan serapan dari bahasa Jawa dan Melayu yang berarti penjaga (oppasster) atau perempuan pengasuh (kindermeid). Menurut Beelens dan van der Sijs (1997), dalam bahasa aslinya yaitu Jawa dan Melayu, kata babu berarti perawat atau perawat anak, baik ibu sendiri atau wanita lain yang melakukan tugas itu.Â
Buku Max Havelaar karya Edouard Douwes Dekker alias Multatuli (1860) menggambarkan bagaimana baboe di Hindia Belanda yang umumnya adalah perempuan tua berpenampilan nyaris selalu sama. Dikisahkan di roman itu, bahwa baboe yang bekerja untuk Nyonya Max Havelaar sebenarnya tidak memiliki banyak pekerjaan karena Ny Max Havelaar adalah seorang perempuan yang mampu merawat anaknya sendiri dengan sempurna dan nyaris tidak membutuhkan bantuan orang lain.
Dalam Inleiding in het Maleisch (1918) karya Meulen dan Siebelhoff, istilah baboe mengalami perluasan makna atau generalisasi. Dalam kamus bahasa Melayu sederhana untuk penutur bahasa Belanda tersebut, istilah baboe tidak hanya terbatas pada orang yang bekerja mengasuh atau merawat anak. Berdasarkan tipe kerjanya, ada ‘baboe dalam’ atau kamermeisje yang bertugas membersihkan dan merapikan rumah, ‘baboe tjoetji’ yang bertugas mencuci. Namun menurut kamus tersebut, tugas baboe yang paling utama adalah mengasuh anak yaitu ‘baboe anak’ atau ‘baboe tètèk’.
Yang sangat menarik, menurut de Vries (2019), kata baboe sama sekali bukan kata asli dari bahasa Melayu maupun bahasa Jawa melainkan kata rekaan buatan para penjajah Belanda di Nusantara. Di filem karya produser Sandra Bereends (2019) yang berjudul "Ze noemen me Baboe" (Mereka memanggilku babu), kata babu berasal dari kata ba dari bahasa Jawa "mbak" atau kakak perempuan dan bu dari kata ibu. "Mbak Ibu" atau kakak perempuan atau mbak yang berperan sebagai ibu.
Jelas bahwa kata baboe (babu) pada awalnya hanya mengacu pada para perempuan yang tugasnya mengasuh anak, seperti zuster atau babysitter pada jaman sekarang.
Mungkin karena pekerjaannya yang terbatas mengurus anak, maka para babu jaman kolonial juga menjadi dekat dengan para nyonya Belanda. Selain mengurus anak, babu juga seakan menjadi teman para mevrouwen itu terutama di saat-saat sang suami pergi bekerja.Â
Koran, Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie terbitan 25 Juli 1925Â misalnya menyebutkan peran baboe (babu) dalam pendidikan politik para perempuan Belanda. Â Di koran itu diberitakan bahwa perempuan pribumi di Hindia Belanda saat itu telah memperoleh hak untuk memilih para wakil yang akan memilih dewan karesidenan, dan oleh karenanya para perempuan pribumi sebenarnya memiliki hak pilih di tingkat kabupaten atau karesidenan walau secara tidak langsung.Â
Sebuah karikatur menggambarkan bagaimana seorang baboe justru mengajari nyonya Belandanya untuk menggunakan hak pilih. Di negeri Belanda hak perempuan untuk memilih memang baru ditetapkan dalam konstitusi (Grondwet) pada tahun 1922.
Zeebaboe (Baboe lintas benua)
Cukup menarik adalah adanya baboe yang dibawa keluarga tuannya pergi ke Eropa atau kembali ke negara asalnya, yaitu negeri Belanda yang disebut "zeebaboe". Zee berarti laut, sehingga zeebaboe merupakan para babu yang dibawa keluarga tuannya melintasi samudera sampai ke Belanda atau ke Eropa.Â
Bisa terbayang bagaimana masgulnya perasaan seorang  perempuan desa dari Nusantara yang seorang diri meningalkan tanah airnya ikut dibawa oleh keluarganya naik kapal sekitar 3 bulan perjalanan dari Pelabuhan Tanjung Priok, melintasi Singapura, Sabang, Kolombo, Laut Merah, Terusan Suez, Port Said, Genoa, Marseille, Teluk Biskaya, Southampton, Selat Inggris, dam-dam di Ijmuiden, menyusuri Kanal Laut Utara sebelum akhirnya tiba di Pelabuhan Amsterdam...
Situs Java Post (2012) mencatat bahwa para "zeebaboes" alias para baboe yang dibawa ke negeri Belanda oleh keluarga majikannya hanya bisa pulang kembali ke nusantara atau Indonesia jika bisa menemukan majikan atau keluarga baru yang akan berangkat ke Indonesia. Saat sudah tidak lagi bekerja pada majikan yang lama dan mencari majikan yang baru, mereka akan tinggal untuk sementara di rumah singgah yang disebut "Huize Persinggahan" misalnya yang ada di Van Boetzelaerlaan 2, Den Haag, Â Â
Kembali ke Lebaran...
Pada akhirnya kedekatan antara baboe dan nyonya Belandanya kadang begitu mengharukan seperti yang diperlihatkan sebuah iklan "Gramofon" bermerek "Perla" (dari bahasa Spanyol yang berarti mutiara) yang muncul di Het Nieuws van de dag voor Nederlandsch Indie terbitan 28 Maret 1928.
Disebutkan di iklan tersebut bahwa para njonjah sebaiknya membeli gramofon seharga 200 gulden itu sebagai instrumen penghibur bagi mereka dan keluarganya yang sedih sendu mengharu biru saat para baboe-nya meningalkan mereka di hari-hari sekitar perayaan Lebaran.
Dan dua hal yang tidak berubah dari dulu hingga sekarang...Â
Pertama, baboe pada jaman kolonial mungkin secara etimologis pada awalnya memiliki arti  yang sama dengan para suster atau babysitter yang pada jaman kini sangat lazim mengasuh anak-anak kecil keluarga-keluarga muda terutama di daerah urban. Bagaimana kita memperlakukan para suster atau babysitter atau asisten rumah tangga lainnya di masa sekarang adalah yang menentukan apakah kita lebih manusiawi daripada para toean dan njonjah Belanda di masa penjajahan.Â
Di jaman kolonial, dikenal suatu praktek minimal pemberian voorschot gaji alias gaji yang dibayarkan di muka oleh para majikan, toewan dan njonja Belanda agar para baboe dan asisten lainnya bisa merayakan Lebaran. Itu praktek minimal. Penelurusan koran-koran lama pada masa penjajahan juga mengungkap adanya bonus 1 bulan gaji menjelang lebaran yang mirip THR di masa kini.Â
Kedua, menjelang lebaran, kepusingan pun sama. Ditinggal suster, babysitter, atau asisten lainnya bisa membuat kita yang menggunakan jasa mereka tetap terharu biru seperti yang dialami para ndoro Belanda puluhan tahun atau seabad yang lalu.Â
Sudah mendapat suster atau babysitter invalan*?
Selamat menyambut akhir Ramadhan dan menyambut Idul Fitri!
*te invallen: menggantikan seseorang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H