Wacana bahwa keanggotaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan menjadi syarat wajib di beberapa layanan publik tak pelak lagi mendapat tentangan dari kanan maupun kiri.Â
Tidak tanggung-tanggung, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 mengenai  Optimalisasi Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menjadikan keanggotaan BPJS menjadi syarat bagi berbagai pelayanan publik mulai dari penjualan tanah, penerimaan kredit usaha, keberangkatan ibadah umrah, pengurusan STNK, dan lain-lain.
Beratkah buat kita bahwa BPJS Kesehatan dijadikan syarat mendapat berbagai pelayanan publik di atas?
BPJS Kesehatan pada hakekatnya adalah hak setiap warga negara Indonesia untuk mendapat jaminan pelayananan kesehatan (UU 40/2004) yang diselenggarakan oleh BPJS mewakili pemerintah (Uu 24/2011)..
Dari sudut pandang itu, tentu baik bukan bahwa sebelum mendapat pelayanan-pelayanan publik, pemerintah mengecek apakah kita sebagai warga negara sudah mendapat hak kita?
Mungkin bisa dibayangkan bila di saat kita mau menjual tanah tiba-tiba muncul pak Jokowi di depan kita lalu dengan mesam-mesem bertanya,
"Halow Brok, sebelum jual tanah, apa kamu sudah dapat hakmu akan jaminan pelayanan kesehatan belum?"
Di mana gak baiknya coba?Â
Tapi, mungkin kamu atau saya, kita akan langsung ngeyel:
"Tapi kan untuk dapat BPJS kita harus membayar. Kalau BPJS itu hak, mosok kita harus mbayar?"
Yaelah Brok, di NKRI ini, seperti di negara-negara yang normal lainnya dunia, selain hak untuk mendapatkan jaminan layanan kesehatan dan lain-lain jaminan sosial, Â semua warga pada umumnya pun berhak mendapat pendidikan, pekerjaan, sandang, pangan, papan dan lain-lain.
Apa iya lantas dengan hak-hak seperti itu, kita lantas tinggal tenguk-tenguk di rumah lalu negara men-drop makanan, baju, guru, buku-buku, rumah dan lain-lain?
Semua hak yang dijamin pemerintah-pemerintah di negara-negara yang normal tentu memerlukan dana dan pembiayaan. Justru tidak atau kurang normal adanya jika warga menuntut semua itu diberikan secara hratis atau cuma-cuma.
Bagaimana Membiayai BPJS?
Ya jelas iuran yang dibayar anggotanya. Ini adalah cara konvensional yang paling banyak dipakai di dunia.Â
Dengan asas solidaritas, tentu semakin besar persentase warga NKRI yang menjadi anggota semakin besar pula dana yang terhimpun dan semakin besar pula cakupan layanan kesehatan yang bisa kita nikmati saat kita sakit (maupun sehat) dengan kualitas yang semakin baik.
Tujuan akhirnya tentu adalah saat kamu atau saya atau siapa saja di NKRI ini jatuh sakit, cukup dengan menunjukan kartu BPJS atau nantinya NIK atau KTP kita bisa langsung masuk ke rumah sakit dan mendapatkan tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun.
Tiga parameter yang ingin dituju dengan BPJS itu jelas: cakupan penduduk yang dilindungi, cakupan dan kualitas layanan kesehatan yang diberikan dan pembiayaan langsung yang semakin kecil.
Jaminan kesehatan universal akan tercapai saat persentase penduduk yang dilindungi semakin tinggi, jenis pelayanan kesehatan yang diberikan makin luas dan persentase pembiayaan langsung makin kecil.
Untuk mencapai ketiga hal itu tentu biayanya tidak kecil. Sebagian dari kita berpendapat bahwa sebaiknya dana ini tidak dihimpun lewat iuran BPJS yang diwajibkan dibayar oleh mereka yang bekerja, apalagi menjadi syarat untuk mendapat berbagai pelayanan publik.
Penerimaan Pajak Sebagai Alternatif Pembiayaan BPJS?
Laporan Badan kesehatan dunia (WHO, 2010) menyebutkan bahwa penerimaan pajak seringkali dikombinasikan dengan iuran atau pungutan jaminan kesehatan untuk membiayai sistem jaminan kesehatan.
Menggunakan atau mengalokasikan penerimaan pajak untuk membiayai BPJS mungkin akan melegakan banyak pihak karena kewajiban membayar iuran bisa diperingan secara nominal. Hal ini tentu saja berlaku jika kita mengasumsikan potensi pembiayaan yang besar dari penerimaan pajak di NKRI.
Pertanyaannya: besarkah potensi penerimaan pajak kita untuk dipakai membiayai BPJS?
Jawabannya jelas: tidak besar.
Artikel saya Oktober tahun lalu tentang betapa 'menyebalkannya' membayar pajak di Indonesia, mengungkapkan bahwa per 31 Maret 2021, dari total 131,06 pekerja di Indonesia , baru sekitar sepertiganya atau 45,43 juta pekerja saja yang terdaftar sebagai wajib pajak dan dari para wajib pajak itu hanya 11,3 juta saja yang menyetorkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak.
Bayangkan bahwa dari 279 juta rakyat Indonesia ternyata hanya 11.3 juta alias kurang dari 4 persen saja yang membayar pajak tahunan.
CNBC Indonesia (21 Mei 2021) menunjukan bagaimana rasio penerimaan pajak RI sulit menembus 10 persen pendapatan domestik bruto (PDB) sejak 2017 yang membuat penerintah kini menerapkan program tax amnesty jilid II.
Jika bukan BPJS, tapi NPWP atau Surat Bukti Lapor SPT yang Jadi Syarat Pelayanan Publik...
Persentase pembayar pajak yang kecil dan rasio penerimaan pajak juga relatif masih sangat jauh dari harapan sebenarnya memberikam legitimasi bagi pemerintah untuk menjadikan pembayaran pajak sebagau syarat mendapatkan pelayanan publik.
Dengan kata lain, pemerintah bisa saja mewajibkan warga yang ingin mendapat pelayanan publik (menjual tanah, mengurus SIM, naik haji,dsb.) untuk menunjukan kepemilikan nomor pokok wajib pajak (NPWP) atau bukti pelaporan SPT.
Untuk mendapat haknya, orang diminta untuk melakukan kewajibannya (melapor atau membayar pajak) terlebih dahulu.
Secara moral adakah yang salah dengan prinsip itu? Jelas tidak.
Tapi, alih-alih mensyaratkan pelaksanaan kewajiban perpajakan sebagai syarat mendapat layanan-layanan publik, pemerintah malah minta BPJS saja yang adalah hak warga.
Masih ada yang salah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H