Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bahasa Kolonial 22: Peneliti? Mengapa Bukan Pencari?

5 Januari 2022   11:19 Diperbarui: 6 Januari 2022   05:19 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasa Indonesia banyak menyerap kata dari bahasa asing terutama Belanda di bidang-bidang terkait teknologi dan ilmu pengetahuan. Tidak terhitung kata serapan dari Bahasa Belanda yang kita pakai di ilmu fisika, biologi, kedokteran, otomotif, elektronika, maupun kelistrikan dan lain-lain.

Namun demikian suatu hal yang sangat menakjubkan bahwa kata yang kita pakai untuk menyebut salah satu pelaku utama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) justru sama sekali bukan kata serapan: peneliti.

Peneliti berasal dari kata dasar yaitu kata sifat "teliti" yang diberi awalan "pe-". Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring Kemenristekditi memberi arti utama kata "teliti" sebagai 'cermat; saksama', kata "meneliti" sebagai 'memeriksa (menyelidiki dan sebagainya) dengan cermat', dan kata "peneliti" sebagai 'orang yang meneliti'.

Dari kaca mata kebahasaan, KBBI memberikan definisi yang sangat luas dari kata "peneliti". Dalam konteks metode ilmiah dan iptek, frasa "memeriksa (menyelidiki dan sebagainya)" dalam definisi meneliti dapat kita kembangkan sebagai mengamat-amati, mendefisinikan permasalahan atau pertanyaan, membangun sebuah hipotesa, mengumpulkan data, menguji hipotesa dengan data dan mengambil kesimpulan terkait kesahihan hipotesa yang dibangun. Semua rangkaian kegiatan tersebut dilakukan 'dengan cermat'.

Kata dalam bahasa Belanda untuk peneliti dalam konteks iptek adalah onderzoeker dari kata kerja onderzoeken atau kata benda onderzoek. Secara etimologis, kata onderzoek yang secara kasar berarti "riset", merupakan terjemahan bahasa Belanda dari bahasa Perancis enquete atau Perancis kuna enqueste yang kemungkinan berakar kata quaerere dari bahasa latin yang artinya "mencari" atau "bertanya".

Dalam bahasa Perancis sendiri, dari mana kata enquete berasal, kata enquteur di masa kini berarti "petugas penyelidik di kepolisian" yang dalam bahasa Belanda disebut rechercheur yang kita adopsi juga menjadi "reserse".

"Peneliti" dalam konteks iptek dalam bahasa Perancis adalah chercheur yang arti harafiahnya adalah "pencari". "Mencari" dalam bahasa Perancis adalah rechercher sementara kegiatan penelitian adalah la recherche setara dengan research dalam bahasa Inggris yang diadopsi belakangan menjadi "riset" dalam bahasa Indonesia, dengan pelakunya disebut "periset".

Walau kini kita memiliki kata periset yang kita adopsi belakangan dari bahasa Inggris, adalah sangat menarik untuk mencari tahu mengapa kita justru memakai kata 'peneliti'.

Mengapa dahulu kita tidak mengadopsi kata semacam onderzoeker atau kata lainnya yang artinya lebih pada "pencari" atau "penanya" yang secara filosofis lebih menggambarkan kekritisan seorang ilmuwan (wettenschaper dalam bahasa Belanda) yang berpikir dibandingkan "peneliti" yang artinya dalam konteks metode ilmiah dan iptek, boleh berarti luas namun secara hakekat lebih membatasi ruang gerak pelakunya?

Idealisme "pencarian"seorang "peneliti" hakekatnya jauh lebih luas dari sekedar meneliti. Hal ini bisa tergambar pada hidup almarhum Prof. Dr. Achmad Mochtar.

Prof Dr Achmad Mochtar adalah peneliti malaria kelahiran Bonjol Sumatera Utara yang meraih gelar doktor dari Universiteit van Amsterdam di tahun 1927.

Dr Achmad Mochtar adalah orang Hindia Belanda pribumi pertama yang menjadi direktur Eijkman Instituut menggantikan Dr W.K. Martens yang meninggal di tahanan Jepang karena sakit beriberi.

Menurut Wikipedia, di tahun 1942 itu juga tentara Jepang melakukan penyuntikan vaksinasi atas 90 orang romusha (pekerja paksa) di Batavia. Seluruh romusha tersebut tewas setelah penyuntikan dan tentara Jepang menuduh Eijkman Instituut di bawah pimpinan Dr Mochtar melakukan sabotase atas vaksin yang diberikan dengan mencemarinya dengan bakteri tetanus. Akibatnya seluruh tim peneliti insitut, termasuk Dr Mochtar ditangkap dan disiksa habis-hasian oleh Kempetai, polisi militer Jepang.

Pada Januari 1945, Jepang membebaskan seluruh tim peneliti Eijkman Instituut kecuali Dr Mochtar. Menurut The Guardian (2010), Dr Mochtar bersedia dihukum mati dan menerima tuduhan menyabotase vaksinasi Jepang, jika rekan-rekannya dibebaskan. Tentara Jepang lalu memenggal Dr Mochtar secara keji dan menguburkannya dalam suatu kuburan massal.

Baru pada tahun 2010, tim Institut Eijkman dan Oxford University Clinical Research Unit di Jakarta menemukan makam Prof Dr Achmad Mochtar yang sayangnya tidak begitu kita kenal, di Ereveld Ancol, Jakarta Utara.

Kerja para peneliti jelas lebih dalam dari sekedar "meneliti". Idealisme dan hakekat hidup mereka seperti terwujud dari sosok Prof Dr Achmad Mochtar, sebagai ilmuwan adalah mencari, bertanya, mengulik dan mempertahankan kebenaran saat mereka menemukannya. 

Bangsa ini memerlukan lebih banyak lagi orang yang ingin bertanya dan mencari, tidak peduli jika itu dilakukan dalam kesenyapan, memerlukan proses yang panjang dan lama. Jauh di luar riuh ketenaran, kemakmuran instant sosial media yang nampaknya kini jadi jalan ninja pilihan milenial. 

Baca juga:

- Kemenritek Dilebur, Kandaskah Impian Habibie? 

- Bahasa Kolonial 21: Taoen Baroe dan Belanda yang Bingung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun