Resolusi 2022 saya adalah menulis setiap hari.
Namun demikian, di bulan Januari  yang sudah menginjak hari ke-7, jumlah artikel saya di Kompasiana, termasuk tulisan ini, baru 5 biji. Mengecewakan. Menulis setiap hari itu ternyata sungguh sulit, suatu kemewahan.
Dalam permenungan saya di pagi ke-7 tahun 2022 ini saya menemukan empat penyebab kegagalan itu.Â
Pertama, kapan saya membalas komentar-komentar di tulisan?
Buat sebagian penulis di Kompasiana mendapat komentar dari pembaca atau sesama penulis Kompasiana adalah hal yang luar biasa.
Kalau temanmu sudah memberi perhatian dengan meninggalkan komen, tegakah dikau untuk tidak menanggapi balik? Saya tidak tega dan saya selalu ingin menanggapi balik.
Berbeda kalau kita adalah penulis di media cetak yang tidak mungkin membalas komentar para pembacanya.
Kalau ada penulis di Kompasiana yang tidak suka membalasi komentar, berarti dia sudah memiliki mentalitas penulis di media cetak.
Sombong? Lho tidak. Justru bagus, karena yang bersangkutan sudah menyiapkan mental menjadi penulis di media cetak yang tentunya lebih jempolan dari penulis media daring.
Kedua, kapan saya mampir ke tulisan yang lain?
Nah ini satu alokasi waktu lagi yang seyogianya harus kita luangkan sebagai penulis di Kompasiana: untuk bersosialisasi, untuk connecting.
Connecting itu penting.Â
Sebagus apapun tulisanmu, sesering apapun tulisanmu terpilih menjadi Artikel Utama (AU) atau Headline (HL) atau Featured Article (FA), kalau kamu gak pernah mampir-mampir berkunjung untuk  vote atau meninggalkan komentar di tulisan sesama penulis Kompasiana maka kamu bukan apa-apa.
Mungkin kamu penulis keren tapi bukan Kompasianer keren apalagi Kompasianer super keren.
Jadi tanpa ber-connecting, jangan pernah bermimpi kamu akan jadi Kompasianer of the year. Jangan harap kamu dapat hadiah yang tiga eh satu jeti (belum dipotong pajak) ituh.Â
Ketiga , banyak menulis = banyak di-bully
Baru saja saya menyongsong 2022 yang cerah senyum di bibir merah, dengan resolusi baru, semangat baru, udara baru eh kena bully. Di mana saya kena bully? Di artikel yang ditulis oleh Pak Felix Tani di sini.
Coba, mana berani Pak Felix Tani ini mem-bully Pak Tjiptadinata atau Ibu Roselina Tjiptadinata? Pasti gak berani deh. Padahal di Kompasiana ini saya jauh lebih lebih senior ketimbang Pak Tjip atau Bu Lin.Â
Kenapa pak Felix malah berani bully saya? Emangnya saya berani sama pak Felix? Kan enggak. Makanya jangan sembarangan!
Jadi ini sebuah peringatan buat para kompasianer (tidak termasuk Pak Tjip dan Bu Lin):
Banyak nulis banyak di-bully
Sedikit nulis sedikit di-bully
Enggak nulis di-bully juga!Â
Keempat, emang kerjaan saya nulis doang Broh?
Sorimek, memangnya saya tidak ada kerjaan selain menulis setiap hari?
Nguras bak mandi, nyapu latar, nyabutin rumput depan pagar, ambil paket anteran dari tokped, dan lain-lain memangnya bukan pekerjaan yang penting?
Kalau saya menulis setiap hari, pastinya semua hal penting itu terbengkalai bukan? Ya kan? Ya kan?
Wasana kata.
Ahirnya, seperti NKRI, resolusi harga mati. Saya tidak mau dibilang "janji tinggal janji bulan madu hanya mimpi". Walau Betmen musuhan sama Supermen, saya tetap mesra dengan Wonder Women. Sekali komitmen tetap komitmen.
Maka dari itu, maka saya akan menulis "setiap hari":
setiap hari
setiap hari
setiap hari
setiap hari...
Sudah ya? Saya mau mandiin kutut dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H