Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Mengapa Rumakiek Lebih Hebat dari Jean Tigana?

3 Januari 2022   21:46 Diperbarui: 8 Mei 2022   04:17 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu greget atau sensasi tersendiri yang saya, dan bisa jadi juga Anda tunggu-tunggu saat menonton laga AFF 2021 yang lalu adalah penampilan Ramai Rumakiek.

Walau baru berusia 19 tahun, gelandang menyerang yang beroperasi di sayap kiri tim nasional ini sudah menunjukan gaya bermain yang sangat matang. 

Sentuhan bolanya efisien, namun saat dibutuhkan Rumakiek mampu melakukan dribling sambil ber-slalom untuk mengelabui pemain-pemain defensif tim lawan. 

Umpan-umpan cepat dan pendeknya juga akurat. Dibarengi dengan pergerakan tanpa bola yang sulit diduga berulang kali ia mampu ber-tektok-an dengan para penyerang seperti Kambuaya untuk membongkar lini belakang kesebelasan musuh.

Tak pelak, mutiara Papua ini mengingatkan saya pada salah satu gelandang terbaik yang pernah ada di dunia: Jean Tigana.

Jean Amadou Tigana adalah mantan gelandang bertahan timnas Perancis kelahiran Bamako (Mali) tahun 1955 yang cukup terlambat untuk mulai bermain di timnasnya namun sukses menjadi referensi cara bermain gelandang moderen sejak dekade 80an hingga kini.

Pertama kali Tigana memperkuat Les Bleus terjadi di tahun 1980 saat ia sudah berusia 25 tahun. Selanjutnya sosok langsing bertinggi badan 1,68 meter, pendek untuk ukuran Eropa, ini memainkan 52 pertandingan bersama Les Bleus hingga tahun 1988.

Mengawali karirnya di Divisi 2 liga Perancis bersama Sporting Toulon di tahun 1975, nama Tigana mulai mencuat saat ia bermain untuk Olympique lyonnais yang dimanajeri Aime Jacquet (1978-1981) sebelum bermain 8 musim untuk les Girondins de Bordeaux yang menjadi klub terkuat di Perancis selama decade 80-an yang meraih gelar juara liga Perancis 1984, 1985 dan 1987. 

Dua tahun terakhir karir Tigana ditutup dengan meraih gelar juara liga Perancis 1990 dan 1991 bersama Olympique de Marseille yang kala itu juga diperkuat Jean-Pierre Papin.

Dunia benar-benar mengenal Tigana saat bersama Michel Platini, Alain Giresse, dan Luis Fernandez menjadi inti lapangan tengah timnas Perancis saat berlaga di Euro 1984. Keempat gelandang yang dikenal sebagai segi empat ajaib atau “Le Carre Magique” inilah yang sangat menentukan keberhasilan Perancis memenangkan Euro 1984 itu sekaligus memperkenalkan kembali konsep permainan lapangan tengah yang berbasis gelandang yang mengambil posisi berdekatan.

Pada tahun 1984 itu juga Tigana memperoleh penghargaan Ballon d’Or di posisi kedua di bawah kambrat sekaligus kapten Les Bleus, Michel Plantini. Harian olah raga Perancis,  L'equipe (30 Mei 2016) juga menobatkan Jean Tigana sebagai pemain terhebat ke-25 sepanjang sejarah turnamen Euro.

Jean Tigana, pemain yang simpatik namun sangat serius dan terkenal karena professionalisme dan kerja kerasnya. Ia dikenal mampu berlari tanpa henti sepanjang 90 atau 120 menit permainan.

Gaya bermainnya sebagai gelandang bertahan sering dikategorikan sebagai “box-to-box”. Tigana mampu turun jauh ke lini brlakang membantu pertahanan, melakukan tackling, memblok atau menyapu bola lawan, sekaligus naik menyerang, melakukan penetrasi ke lini pertahanan tim musuh, memberi umpan-umpan matang dan akurat, dan kalau perlu mencetak gol.

Pada masanya Tigana adalah jaminan lancarnya aliran bola dari semua tim di mana ia bermain. Kemampuannya membaca posisi kawan-kawan satu timnya, menganalisa posisi lawan dengan cepat, umpan-umpan pendek, maupun percepatan pergerakannya yang mendadak adalah karakter gelandang yang dicari oleh tim-tim terbaik di dunia.

Namun demikian, di atas semua aspek yang dimiliki Jean Tigana, ia tidak lebih hebat dari seorang Ramai Rumakiek.

Mengapa demikian?

Saat ini Ramai Rumakiek baru berusia 19 tahun dan ia sudah memainkan beberapa pertandingan bersama timnas Indonesia.

Saat berusia 19 tahun, Jean Tigana belum bermain di divisi 2 liga Perancis. Saat itu,di tahun 1974, Tigana masih bertarung di klub tarkam alias Divisi 3, di kampung Carnoux-en-Province.

Jelas, walau berbeda negara, pencapaian Rumakiek jauh di atas Jean Tigana.

Jean Tigana hanya punya waktu 8 tahun untuk bisa memperkuat les bleus sementara Rumakiek saat ini masih bisa bermain belasan tahun untuk Garuda.

Bagaimana Rumakiek bisa tetap lebih hebat dari legenda sepak bola Perancis, Jean Tigana?

Tidak lain dan tidak bukan, adalah keharusan bahwa Ramai Rumakiek tetap fokus dan berkomitmen mengembangkan skill sepak bolanya.

Keberhasilan dan ketenaran yang sangat cepat adalah dorongan yang kuat bagi seorang atlet untuk melakukan hal-hal lain di luar bidangnya dan hal ini bisa membuyarkan konsentrasi dalam membangun karir.

Godaan dan gangguan di luar lapangan akan terjadi semakin banyak dan kuat dan hal ini berbanding lurus dengan ketenaran.

Mencontoh profesionalisme, keseriusan, dan komitmen Tigana adalah cara bagi gelandang muda Garuda kita untuk bisa mendunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun