Orang dewasa Indonesia mana yang saat pertama kali bisa bepergian ke luar negeri tidak ingin masuk ke dalam toko seks alias sex shop?
Jawabannya: tidak ada.
Tidak perlu funamik eh munafik. Semua orang Indonesia dewasa yang punya kesempatan melancong ke negara-negara barat atau negara-negara lain yang menganut kebebasan seksual pasti di relung hatinya yang paling dalam ada keinginan untuk berkunjung ke tempat itu.
Viktor atau vikiran kotor? Jangan nuduh dulu, siapa tahu itu benar. Tapi bisa juga salah, toh setiap orang punya rasa ingin tahu. Apalagi kita berasal dari negara yang cukup puritan.
Terus terang waktu kali pertama menginjakan kaki ke  sebuah negara barat di penghujung dekade 90-an, jaman belum banyak internet dan telepon genggam, saya pun penasaran. Apa sih isi sex shop? Bisa ngapain sih di dalamnya?
Jadilah pada suatu Sabtu sore, bersama dua kawan pria dari Indonesia lainnya kami berencana mengunjungi sebuah sex shop di tengah ibu kota sebuah negara barat yang bahasanya terkenal berbunyi sengau-sengau gimana gitu.
Karena sex shop ini terletak di kawasan yang agak sangar dan banyak copet, maka saya pun memutuskan untuk pergi hanya membawa sedikit uang dan karcis abonemen angkutan umum.
Pas sampai di pintu masuk ternyata kami dihentikan oleh penjaga pria bule berbadan tegap berjaket kulit.
"Silakan tunjukan kartu identitas!" pinta si bule berjaket kulit.
Kedua teman indonesia saya spontan menunjukan paspor dan kartu ijin tinggal mereka. Ternyata si bule berjaket kulit memeriksa foto dan tanggal lahir. Kedua teman saya masuk setelah si jaket kulit memastikan bahwa mereka sudah berusia lebih dari 18 tahun.
Tiba giliran saya, saya bilang bahwa saya tidak bawa tanda identitas apapun, tapi usia saya (waktu itu) sudah 26 tahun.
Si bule berjaket kulit menolak saya masuk sambil bilang, "orang Asia, saya tidak bisa menebak umur kamu! Tidak ada ID, kamu tidak boleh masuk!"
Teman saya dari dalam mencoba menerang ke si bule berjaket kulit, "betul, dia malah lebih tua dari saya!"
"Tidak bisa, tidak bisa!" kata si bule bergeming.
Ya sudah, akhirnya saya pun menunggu di luar dan tidak jadi masuk sex shop. Bertahun-tahun tinggal di negara itu sampai pulang ke Indonesia saya tidak pernah masuk sex shop.
Bukan apa-apa, saya dendam banget sama si bule sok ganteng itu. Emang saya cowok apaan sampai ditolak masuk sex shop? Lagipula, biar tahu saja: saya gak bakalan pathek'en gak masuk sex shop!
15 menit kemudian, kedua teman Indonesia saya itu sudah keluar dari sex shop. Entah mengapa, wajah mereka sumringah, cengangas-cengenges.
"Rugi kamu Pe, gak jadi masuk hehehe!" kata kedua teman saya itu menggoda.
"Ah bodo amat!" kata saya pura-pura ngambek padahal keki.
Tapi kejadian itu ada hikmahnya...
2 tahun kemudian saya pernah kerja menjadi supir cabutan untuk Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di negara itu selama 4 harian karena rombongan besar wakil rakyat yang datang dari Jakarta. Di saat-saat ada rombongan berjumlah besar dari Indonesia, memang KBRI di negara itu biasa merekrut para WNI di sana untuk jadi pengemudi para tamu itu selama beberapa hari.
Kebetulan pada kesempatan itu saya ditugaskan menjadi supir untuk 3 orang bapak-bapak wakil rakyat.
Pada suatu sore setelah bertemu parlemen setempat, saya pun menjemput ketiga wakil rakyat itu untuk saya antar ke hotel. Di dalam mobil kami berempat bergurau akrab sambil saya mengemudi dan menceritakan sejarah tempat-tempat wisata di kota itu. Nah di tengah perjalanan, tiba-tiba salah seorang di antaranya berkata,
"Mas sebelum ke hotel, kita mampir ke.. nganu.. ke sex shop dulu bisa Mas?"
Mendengar kata "sex shop" seperti membuka luka lama di relung hati saya yang terdalam. Dendam yang lama saya kubur seperti terbuka kembali...
"Mampir mana Pak? Sex shop?!" kata saya dengsn nada meninggi yang membuat ketiga bapak itu terkejut...
"Pak, Bapak-Bapak ini wakil rakyat! Perjalanan Bapak-Bapak ini dibiayai keringat rakyat! Tega benar Bapak-Bapak ini mau mampir ke sex shop?!! ... " Blablablabla, tak ayal lagi saya menumpahkan amarah saya ke ketiga Bapak berjas berdasi itu.Â
Kontan, ketiga Bapak wakil rakyat itu pun panik mencoba meredakan kemarahan saya: "Mas kami cuma bercanda doang kok..." "Ini cuman main main kok, gak sungguhan.." dan lain-lain.
Akhirnya mereka pun langsung saya turunkan di depan lobby hotel tempat mereka dan seluruh rombongan besar menginap. Tidak mampir ke mana-mana.
Walau marah saya merasa senang karena pertama bisa ngomelin, nge-donder wakil rakyat yang gabener dan kedua, bisa menolak permintaan mengantar ke sex shop. Saya kan tidak mau ditolak dua kali (masuk sex shop), emang saya cowok apaan?
Apes saja ketiga Bapak itu minta saya antar ke sex shop. Wrong men at the wrong place with the wrong request. Pasti mereka pikir saya sok-sok'an membela kebenaran.Â
Mereka tidak tahu kalau sebenarnya saya hanya membela kebetulan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H