Pertengahan tahun 2018, saya sempat membawa seorang kawan berkebangsaan Inggris, sebut saja namanya Jeremy untuk berkeliling ke Jawa Tengah.
Jeremy yang londho Inggris ini sangat tertarik untuk mempelajari budaya Jawa, termasuk bahasa Jawa. Nah dengan melakukan perjalanan ke pelbagai tempat di Jawa Tengah dalam waktu dua minggu, teman saya ini berharap bahwa bahasa Jawanya yang masih level toxic alias semrawut bisa naik ke tingkat beginner (pas-pasan, red.) lalu cepat berkembang secara crash programme menjadi tingkat intermediate atau kalau bisa malah tingkat advance.
Nah setelah mengunjungi beberapa kota dan desa di Jawa Tengah selama 4 hari, di suatu malam, sambil menikmati tengkleng kambing di Tambak Segaran, Solo, Jeremy pun mengeluarkan buku catatannya. Tiba-tiba ia bertanya pada saya:
"Jepe, why are there so many keit here in central Java?"Â
"Jepe, mengapa begitu banyak keit di Jawa Tengah ini?" tanya Jeremy.
"Keit? What do you mean?" tanya saya.
"Keit, yes keit," balas Jeremy.
Si londho Inggris itu pun meraih buku catatannya dan menulis "Kate".
"Kate? Like Kate Middleton?" tanya saya balik.Â
"Yes!" jawab Jeremy mantab.