Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pajak Karbon tapi Batu Bara Masih Disubsidi: Seriuskah Pemerintah?

11 Oktober 2021   11:47 Diperbarui: 12 Oktober 2021   07:57 1080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perhitungan di atas hanyalah sebagian kecil dari dampak penerapan pajak karbon. Sangat mudah kita lihat bahwa pajak karbon ini akan membawa kenaikan harga berbagai komoditas secara langsung di masyarakat. 

Belum lagi kenaikan harga yang mungkin ditimbulkan secara tidak langsung, misalnya dari proses rantai pasok barang yang setiap prosentase kenaikan akan dibebankan pada pengguna. Lebih lanjut lagi, potensi inflasi, yaitu kenaikan harga-harga barang secara umum sangat mungkin muncul jika pilihan-pilihan enerji baru dan terbarukan maupun teknologi dengan efisiensi yang lebih baik belum tersedia dalam harga murah di pasaran.

Lalu untuk apa semua kenaikan harga tersebut?

Minimum ada dua hal yang ingin dikejar pemerintah dengan menerapkan pajak karbon. Pertama adalah semakin efisiennya pemakaian enerji dan yang kedua adalah peralihan dari penggunaan sumber-sumber enerji berbasis fosil ke sumber-sumber enerji yang baru dan terbarukan (EBT) seperti biomasa, air, surya, bayum atau panas bumi. 

Tujuan utama dari semakin efisiennya pemakaian enerji dan peralihan ke EBT tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengurangi emisi karbon dioksida sebagai senyawa yang diyakini akan memercepat kenaikan suhu bumi serta perubahan iklim.

Yang patut menjadi pertanyaan besar adalah seberapa jauh keseriusan pemerintah untuk mencapai tujuan efisiensi dan meningkatnya pemakaian enerji baru dan terbarukan dengan penerapan pajak karbon. Saat ini dan di masa yang akan datang Pemerintah RI masih sangat banyak memberikan subsidi untuk enerji berbasis fosil terutama batu bara.

Studi IISD (2017) menemukan adanya 15 kebijakan pemerintah yang bersifat menyubsidi batu bara selama periode 2010-2015. Selama rentang waktu tersebut studi ini juga menemukan bahwa subsidi pemerintah untuk EBT masih jauh tertinggal dibandingkan dengan jumlah nominal pemerintah untuk batu bara. 

Laporan IESR (2019) juga menemukan bahwa pemerintah RI masih menyubsidi industri batu bara melalui jaminan pinjaman, pembebasan pajak, royalti istimewa dan tarif pajak. 

Pemerintah juga menetapkan pembatasan harga untuk batu bara konsumsi pembangkit tenaga listrik, agar biaya pembangkitan tenaga listrik dari batu bara tetap rendah sementara harga batu bara global terus meningkat. 

Dilaporkan Kontan (1-3-2021), pemerintah juga masih merencanakan untuk mensubsidi batu bara yang akan digasifikasi untuk membuat Dimethyl Ether (DME) yang akan dipakai untuk substitusi LPG dan dan untuk memroduksi methanol sebagai bahan yang dipakai di banyak industri kimia termasuk pembuatan biodiesel.

Selain batu bara, pemerintah juga masih akan terus memberlakukan pemberian subsidi untuk bahan bakar diesel (solar). Untuk tahun 2022 misalnya, subsidi untuk solar masih akan sebesar Rp 500 per liter (CNN, 26-8-2021) yaitu lebih rendah dari yang sekarang diberikan sebesar Rp 1000 per liter. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun