Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Benar, Bayar Pajak Itu Menyebalkan tapi...

4 Oktober 2021   11:22 Diperbarui: 12 Oktober 2021   05:25 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
illustrasi: SPT Tahunan (dok.pri)

Anda sebal karena harus membayar pajak? Anda kesal karena setiap bulan Maret harus repot-repot mengisi dan melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak? Membayar, alias mengeluarkan uang memang bukan sesuatu kegiatan yang enak, apalagi kalau tidak dengan rasa sukarela, gembira dan ceria.

Nah, belum lagi kalau Anda tiba-tiba dihubungi oleh seorang account representative (AR) dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Pertama pasti Anda akan merasa dag-dig-dug, lalu kesal dan berakhir jutek. Bagaimana tidak jutek, kalau oleh sang AR Anda lalu diminta menjelaskan atau menambahkan data ini, itu dari SPT Anda? Tidak enak bukan, dikepoin tentang apa yang Anda miliki?

Nah, dua hal di atas belum cukup. Ada satu lagi alasan mengapa Anda berhak merasa sebal dengan kewajiban membayar pajak, terutama terkait pajak pribadi (atas penghasilan) yaitu karena Anda relatif "sendirian" dalam membayar pajak tersebut.

Anda berhak merasa relatif "sendirian" karena Anda mungkin adalah salah satu dari hanya sekitar 11,3 juta wajib pajak yang telah menyetorkan SPT per 31 Maret 2021 (Tempo, 1 April 2021). Dalam kacamata penerimaan pajak, laporan SPT yang masuk dari 11,3 juta juta jiwa itu boleh dibilang jumlah yang sangat sedikit.

Pertama, jumlah 11,3 juta wajib pajak yang telah menyetor SPT itu sebenarnya tidak sampai seperempat dari total 45,43 juta wajib pajak orang pribadi yang terdaftar dari keseluruhan penduduk bekerja di Indonesia yang pada tahun 2021 tercatat sebanyak 131,06 juta jiwa (DDTC News, 29 Juni 2021). 

Data ini juga membuat kita tahu bahwa saat ini baru sekitar sepertiga (34%)  saja dari total 131,06 juta jiwa penduduk bekerja di Indonesia yang terdaftar sebagai wajib pajak. 

Kedua, kalau dilihat dari jumlah penduduk bekerja itu, maka 11,3 juta jiwa pembayar pajak pribadi itu saat ini hanyalah 8% saja dari jumlah penduduk bekerja di Ibu Pertiwi. 

Lebih lanjut lagi, 11,3 juta jiwa pembayar pajak pribadi itu barulah 6% saja dari jumlah penduduk yang berusia aktif; yaitu antara 20 sampai 64 tahun (171 juta jiwa - Kompas, 19 Mei 2021) dan akhirnya, hanyalah 4% saja dari seluruh penduduk Indonesia yang 270 juta juta jiwa itu. 

Jelas bahwa Anda yang 11,3 juta pembayar pajak pribadi itu jelas sendirian bukan? Anda punya alasan untuk merasa kesal. Ke mana yang lainnya?

Penerimaan pajak di negara kesatuan Republik Indonesia ini memang masih sangat rendah dibandingkan dengan potensi yang dimilikinya. Di studi OECD (2021), NKRI tercatat sebagai sebagai salah satu negara di Asia Pasifik dengan persentase penerimaan pajak terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) yang terendah.

Dengan ratio penerimaan pajak sebesar 11,6% dari PDB di tahun 2019, Indonesia hanya berada pada posisi yang lebih tinggi dari Lao PDR dan Bhutan.

Ratio penerimaan pajak terhadap pendapatan domestik bruto tahun 2019 negara-negara Asia Pacific (OECD, 2021)
Ratio penerimaan pajak terhadap pendapatan domestik bruto tahun 2019 negara-negara Asia Pacific (OECD, 2021)

Studi yang sama juga memperlihatkan bahwa hanya 10% dari pajak yang diterima di Indonesia diterima dari pelaporan pajak penghasilan pribadi lewat SPT yang dibuat setiap bulan Maret oleh para wajib pajak. 

10% persen penerimaan pajak pribadi adalah sangat rendah dibandingkan dengan rata-rata di negara-negara Asia Pasifik yang sebesar 17% atau negara-negara Afrika yang sebesar juga 17%. 

Di negara-negara maju yang tergabung dalam OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi ), penerimaan pajak pribadi menjadi rata-rata persentase 24% dari total penerimaan pajak. 

Kalau kita seringkali mengeluhkan rapuh dan lemahnya sistem jaminan sosial, kesehatan dan pendidikan di negara Indonesia, maka ada baiknya bahwa kita juga melihat bahwa di negara-negara OECD dengan sistem jamsostekes yang mumpuni, memiliki tingkat pemajakan atas penghasilan pajak pribadi yang sangat tinggi. 

Menurut statistik OECD, rata-rata persentase pajak pribadi di Austria, Perancis, Jepang misalnya mencapai 55%. Kalau kita bermimpi bahwa suatu hari sistem pendidikan dasar kita akan gratis namun bermutu sangat tinggi seperti di Finlandia, tahukah Anda bahwa rata-rata penghasilan pribadi di negara itu 49,1% nya harus dibayarkan kembali ke pemerintah sebagai pajak? Berapa rata-rata persentase pajak pribadi di Indonesia?

Sering dirongrong oleh pertanyaan warga tentang manfaat membayar pajak, Bu Sri Mulyani menjelaskan bahwa pemasukan pajak tidak hanya semata dipakai untuk pembangunan infrastruktur (Merdeka, 25 Agustus 2021). Ibu SMI juga menjelaskan (Kompas, 23 September 2021) bagaimana efek redistributif penerimaan pajak. 

Artinya, salah satu fungsi pajak yang diterima oleh pemerintah memang dipergunakan untuk memberdayakan masyarakat yang berada pada kelas ekonomi terbawah, seperti disalurkan dalam bentuk dana bantuan sosial, disalurkan untuk membayarkan BPJS warga tidak mampu, termasuk subsidi enerji seperti subsidi bensin solar maupun tarif listrik yang tidak jarang dinikmati juga oleh warga yang tingkat ekonominya di atas rata-rata.

Tidak ayal lagi bahwa penerimaan pajak yang yang semakin besar bagi Indonesia tentunya akan semakin menguatkan kemampuan negara kita untuk membayar hutang-hutang negara sekaligus mencegah pembentukan hutang-hutang yang baru di masa mendatang. Apakah kita kuat berteriak-teriak mengritik kebijakan pemerintah yang terus menambah hutang bahkan kini mencapai total lebih dari 6 625 trilyun rupiah (Kompas, 1 Oktober 2021)? 

Sebelum berteriak keras, atau dengan gagah perkasa membuat cuitan yang cadas lagi pedas di media sosial tentang hutang Indonesia yang melambung tinggi, sebaiknya kita sudah menyempatkan bertanya pada diri sendiri: sudahkah saya melaporkan SPT tahunan? Sudahkah saya membayar pajak kendaraan, tanah, bangunan, dan lain-lain pajak secara teratur?

Akhirnya kalau Anda masih kesal karena merasa tidak mendapat manfaat langsung setelah membayar pajak, mungkin ada baiknya untuk mengingat kembali saat Anda mendapat suntikan vaksinasi COVID-19 (kalau Anda sudah divaksin tentu saja). Apakah Anda harus merogoh kantung untuk membayar atas vaksinasi tersebut? Kalau Anda menganggap bahwa vaksinasi adalah sepenuhnya hak warga negara (dan bukan kewajiban), apakah sebelum disuntik vaksin ada petugas yang bertanya kepada Anda: "apakah Ibu atau Bapak sudah melaporkan SPT pajak?"  

Sedemikian jelas bisa kita lihat bahwa manfaat langsung pembayaran pajak seringkali diberikan kepada seluruh warga tanpa syarat apapun, bahkan terlepas dari apakah warga yang bersangkutan sudah atau belum memenuhi kewajiban perpajakannya.

Tidak lama lagi, petugas pajak alias para account representative (AR) dari kantor-kantor pelayanan pajak akan segera bergerak door-to-door untuk mengoptimalkan penerimaan pajak negara (CBNC Indonesia, 2 Oktober 2021). Ini semua memang harus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan persentase jumlah warga usia kerja yang berperan serta membayar pajak, terutama pajak penghasilan pribadi. Dengan cara itu, teman-teman kita yang sudah membayar pajak, yang saat ini hanya 8% saja dari para penduduk pekerja di Indonesia akan semakin tidak "merasa sendirian" dalam melaksanakan kewajibannya membayar pajak.

Siap-siap bahwa Anda akan menerima pesan-pesan Whatsapp (WA) dari para AR dari berbagai KPP tersebut. Lebih baik segera buang perasaan kesal atau mangkel tersebut karena Anda akan dikepoin oleh para AR itu, karena ini semua untuk Indonesia juga. Indonesia yang tidak berhutang, Indonesia yang warganya solider dengan warga lain yang membutuhkan atau Indonesia yang bisa menyelenggarakan sistem pendidikan dan kesehatan yang semakin murah dengan kualitas yang semakin tinggi. 

- Jakarta, 4 Oktober 2021 - 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun