Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Bukan Childfree, Ayah-Ayah Ini Pilih Family-Free

11 September 2021   14:11 Diperbarui: 13 Februari 2023   12:29 1368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kedekatan ayah dengan anaknya. Sumber: Evgenyatamanenko via Kompas.com

"Ah Mas Febri* mah ngorok aja terus kalau anak kami (bayi) tiba-tiba nangis tengah malam. Aku deh yang ngantuk-ngantuk bangun bikin susu atau ngganti popok."

"Kalau bang Felix* mah nggak pernah ke dapur. Kalau pulang kerja atau pulang sepedaan, dia tahunya makanan udah siap aja di atas meja makan."

Anda pernah dengar seorang perempuan bercerita demikian tentang suaminya atau bapaknya anak-anak mereka?

Seorang ayah, bapak, atau suami yang tidak ikut merawat anak atau tidak ikut serta membereskan hal-hal seputar rumah tangga memang nyatanya ada di sekitar kita.  

Selain mereka yang terhalang oleh pekerjaan atau profesi, para ayah atau suami-suami yang sengaja memilih untuk tidak ikutan dalam mengurus keluarga mungkin bisa diistilahkan sebagai suami atau ayah yang "bebas dari urusan rumah tangga atau keluarga" atau istilah kerennya ayah atau suami yang "family free" atau "household free".

Corneau (1989) menggunakan ungkapan "ayah atau suami yang absen secara emosionil" untuk mendefinisikan  suami atau ayah tersebut. Dalam definisi Guy Corneau, penulis buku Absent Fathers Lost Sons, mereka  adalah para ayah atau suami yang tidak memberikan perhatian yang cukup pada anak-anak dan urusan-urusan rumah tangga atau keluarga.

Dalam bahasa sehari-hari, mereka adalah kaum suami atau ayah yang hanya fokus pada urusan mencari nafkah. Selepas urusan itu para suami atau ayah itu hampir tidak punya tanggung jawab apa-apa lagi dan berhak meluangkan waktunya untuk hobby atau kegemarannya sendiri misalnya main game, sepedaan, ber-Kompasiana, main futsal, kongkow dengan teman-temannya atau sekedar beristirahat tanpa boleh diganggu-gugat oleh apa maupun siapapun.

Apa dampaknya bila suami atau ayah bersikap family atau household free? Ada dampak jangka pendek pada istri maupun jangka panjang yang terutama terjadi pada anak-anak

ilustrasi (defimedia.info)
ilustrasi (defimedia.info)

Dampak pertama, jangka pendek, sangat jelas yaitu bahwa para ibu atau para istri tentu akan kewalahan setengah mati mengurus rumah tangga dan anak. 

Bukan rahasia lagi bahwa perkara peranan, kewajiban, dan hak merupakan satu aspek yang sering membawa pertengkaran terutama di keluarga-keluarga muda yang masih mencari pola kerja-sama yang optimal antara suami dan istri. 

Psikolog Ajeng Raviando (Kompas 13 Mei 2018) misalnya mengungkapkan bahwa 5 tahun pertama pernikahan adalah masa yang rentan, waktunya untuk menerima pasangan seperti apa adanya dan saling menyesuaikan.

Sangat menyedihkan bahwa di berbagai media sosial maupun media arus utama, kita dapat membaca bagaimana beberapa pasangan pesohor akhirnya memilih untuk mengakhiri hidup berumah tangga alias bercerai karena gagal menemukan pola kerja-sama yang optimal tersebut. "Ketidakcocokan", "ada perbedaan prinsip" adalah salah dua dari berbagai cliches yang diungkapkan karena kegagalan tersebut.

Dampak kedua, jangka panjang adalah efek bagi anak-anak dari absennya figur seorang ayah dalam keluarga.

Psikolog Perancis Marc-Elie Huon (1984), menyoroti absennya seorang ayah dalam keluarga sering menyebabkan seorang anak tidak mampu menemukan batasan-batasan norma yang diperlukannya untuk tumbuh berkembang. 

Lewat hadirnya ayah secara fisik dan emosionil, seorang anak seharusnya memiliki pedoman dan norma-norma hidup yang membuatnya belajar bertanggung jawab karena bisa melihat dan menimbang segala akibat dari tindak-tanduknya.

Lebih lanjut Huon menyatakan bahwa "ayah yang hadir" seharusnya membantu anak-anak untuk mampu menyatakan kebutuhannya untuk disayang atau diperhatikan. 

Di masa remaja, kemampuan ini akan mengurangi kecenderungan sang anak untuk membangkang, bertindak nekat atau mengalami masalah dalam memahami identitas seksualnya. 

Hal yang terakhir, masalah pemahaman identitas seksual berpotensi menggiring anak pada ekstrim-ekstrim perilaku seksual di masa dewasanya seperti pandangan merendahkan atau perilaku kasar pada lawan jenis, homoseksualitas, maupun homofobia.

Pemahaman dan pandangan sosial-budaya maupun  (pseudo) agama yang salah tidak pelak lagi adalah penyebab utama terbentuknya ayah-ayah atau suami-suami yang bersikap  "family free" atau "household free".

Pemahaman dan pandangan keliru tersebut muncul umumnya di masa lalu saat peran istri atau ibu terasosiasi erat dengan emosi, kelembutan dan segala hal yang terkait kasih sayang sementara peran ayah atau suami terhubung erat dengan segala hal yang bersifat profesional, intelektual dan aktifitas fisik.

Perubahan chip dalam cara pandang seorang istri dan suami tentang peran mereka dalam keluarga adalah hal yang saat ini diperlukan untuk mengatasi terbentuknya ayah-ayah atau suami-suami "family free".

Pertama, seorang istri harus mengubah chip di kepalanya yang seringkali menganggap suaminya tidak memiliki kemampuan emosi yang cukup canggih untuk terlibat dalam urusan-urusan rumah tangga dan pendampingan anak-anak.

Membiarkan suami tahu beres akan segala urusan rumah dan anak-anak berarti merendahkan kemampuan emosionil sang suami. Sebaliknya semakin melibatkan suami dalam urusan rumah tangga dan anak berarti memuliakan suami karena istri menerima suami sebagai manusia yang sepenuhnya.

Baca juga: Bapak-Bapak Bukan Spesies Neandertal!

Kedua, seorang suami juga harus mengubah chip di kepalanya dengan memandang bahwa keterlibatan dalam urusan-urusan rumah tangga adalah hak dan bukan kewajiban.

Seorang suami berhak untuk masuk ke dapur untuk masak, cuci piring, bersih-bersih dapur, berhak untuk beberes tempat tidur, belanja kebutuhan sehari-hari, menguras bak mandi, dan lain-lain perkara remeh temeh keluarga. 

Seorang ayah juga berhak mengganti popok bayinya, membuat susu botol, menyiapkan makanan atau bekal sekolah  memandikan mereka, menyuapi, menemani belajar, membuat pe-er, mengajari berenang, naik sepeda roda 2, atau sekedar bermain uwel-uwelan di pagi hari.

Pada akhirnya semua kembali pada sang suami atau ayah untuk memilih, karena dialah yang menjalani. Memilih membuat istri kelimpungan atau istri yang bahagia? Memilih anak-anak yang kehilangan figur ayah atau anak-anak yang mengalami kepenuhan?

-Jakarta, 11-09-2021-

*bukan nama sebenarnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun