Keempat langkah yang sudah (atau baru?) dilakukan oleh Indonesia jelas menampilkan tiga hal yaitu konflik kepentingan politik, kurangnya keterlibatan semua pihak, dan perencanaan jangka panjang yang tidak menyeluruh yang menyebabkan implementasi kebijakan yang lambat, tidak berkesinambungan dan bahkan tersendat.
Belum lagi kalau kita ingin mempertimbangkan kebijakan-kebijakan yang lebih berani seperti pelarangan pembangunan infrastruktur masif di utara Jakarta, pelarangan total penyedotan air tanah atau perombakan utara Jakarta menjadi kota spon (Velasquez, 2017).
Boleh jadi Jakarta sudah bukan lagi ibu kota Indonesia dalam 5 atau 6 tahun ke depan, namun sebagai pusat perekonomian, perdagangan dan bisnis di Asia Tenggara pastinya peran Jakarta belum akan tersaingi oleh kota manapun di Indonesia dalam 5 dekade yang akan datang.Â
Bisa dibayangkan betapa kolosalnya dampak ekonomi bagi Indonesia dan Asia Tenggara jika Jakarta tergenang dalam suatu periode yang lama di masa depan, kalau tidak ingin menyebutnya sebagai 'tenggelam'.
Tenggelamnya Jakarta memang tidak akan terjadi besok. Tapi dengan skenario kebijakan yang seringkali disebut sebagai business-as-usual terjadi seperti sekarang ini, bukan tidak mungkin bahwa hal itu akan terjadi dalam 10 tahun seperti perkiraan Joe Biden atau tahun 2050 seperti perkiraan the World Economy Forum.
Jika COVID-19 yang sudah berdiri di depan pintu kamar kita masing-masing masih sulit untuk membuat kita bergerak dan bereaksi cepat, apalagi penurunan tanah atau naiknya permukaan air laut yang tidak terlihat?
Belanda masih jauh? De hollanders zijn nog ver?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H