Keempat, sebagian besar spin-off merupakan multinasional.Â
Keikutsertaan para dosen dan mahasiswa peneliti dari universitas yang umumnya datang dari berbagai negara secara otomatis menjadikan lingkungan kerja di spin-off bersuasana internasional. Selain dari sisi SDM, sifat proyek yang dikerjakan juga memperkuat dimensi mancanegara tersebut.Â
Bekerja di spin-off untuk kampus bertaraf internasional di sebuah negara Eropa berarti bersinggungan tidak hanya dengan bahasa Inggris tapi juga bahasa lokal negara yang bersangkutan, seperti bahasa Prancis, Belanda, dan Jerman yang dipakai di negara Belgia.
Terakhir, model atau pola spin-off memungkinkan komersialisasi hasil riset di kampus.Â
Banyak hasil riset para peneliti kita di Indonesia yang sesungguhnya berpotensi untuk dipasarkan atau diterapkan langsung di sektor industri. Sayangnya hal ini sering terganjal berbagai faktor seperti keterbatasan modal, keterbatasan jaringan pemasaran, dan lain-lain.Â
Model spin-off yang dipelopor sebuah perguruan tinggi negeri dapat memecah kebuntuan tersebut dengan suntikan modal awal maupun pencarian pasangan pelaku bisnis maupun investor dari sektor industri.
Dirintis sejak tahun 70-an model spin-off Belgia telah menghasilkan lebih dari 500 perusahaan spin-off yang kebanyakan bergerak di bidang hi-tech yang dibangun atas kerjasama sektor industri oleh 7 atau 8 PTN terbesar di seluruh negara kecil itu.Â
Kontribusi perusahaan-perusahaan tersebut pada perekonomian tentu tidak kecil terlebih lagi kontribusinya pada pengembangan riset dan teknologi.Â
Di saat pelaku penelitian di negeri kita sering mengeluh kekurangan dana sementara output dunia akademik dan kebutuhan industri terasa tidak nyambung, bisakah model spin-off kampus ini kita terapkan di Indonesia? Menjawab tantangan Tri Dharma Perguruan Tinggi bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H