"Segregasi sosial terjadi saat masyarakat yang berasal dari kelompok-kelompok yang berbeda secara sosial ekonomi di suatu kota memiliki kesempatan yang minim untuk bersinggungan dengan orang-orang dari kelompok yang berbeda" (MIT Media Lab/Human Dynamics)
Ada sedikit berita baik yang baru saja kita dengar terkait masalah pendirikan Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Bogor yang terkenal dengan nama GKI Yasmin. Setelah 15 tahun, kasus sengkarut pendirian GKI Yasmin itu akhirnya terpecahkan setelah Pemkot Bogor menghibahkan lahan baru untuk pembangunan gereja tersebut di lokasi yang berbeda dengan tempat pengajuan ijin semula pendirian gereja (Detik, 14 Juni 2021).
Mengapa hal itu bisa kita pandang sebagai "sedikit berita baik"?
"Berita baik" di sini berarti adalah terpecahkannya konflik tersebut setelah satu setengah dekade. "Sedikit" di sini berarti kita masih punya masalah yaitu bahwa pemerintah masih mengakomodasi keinginan sejumlah warga negara Republik Indonesia untuk enggan hidup berdekatan dengan sebuah rumah ibadah agama lain dan segala konsekuensinya.
Seperti kita semua paham pendirian rumah ibadah sampai detik ini masih diatur oleh Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006. Secara singkat, pasal 14 dari peraturan ini mewajibkan adanya permohonan dari minimum 90 (sembilan puluh) umat di wilayah setempat yang nama dan identitasnya disahkan oleh pejabat setempat serta mendapat dukungan paling sedikit 60 (enam puluh) warga sekitar yang disahkan oleh lurah/kepala desa setempat.
Kebebasan beragama, berkepercayaan dan hak untuk menjalankannya tidak hanya dijamin UUD 45 pasal 29. Lebih jauh lagi, lewat UU no 12 tahun 2005, sebenarnya Republik Indonesia juga telah meratifikasi Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Convenant on Civil and Political Rights atau ICCPR) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 18 ayat 1 dari Konvenan ini mencakup kebebasan untuk menganut atau memilih agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, penataan, pengamatan dan pengajaran. Hak untuk mengejawantahkan agama dan kepercayaan dalam kegiatan ibadah tersebut tidaklah dapat dikurangi (pasal 4 - Konvenan) dan hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan apabila diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan dan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain (pasal 18 ayat 3 - Konvenan).
Konsekuensi UU no 12 tahun 2005 teramat jelas dan letterlijk: pendirian rumah ibadah adalah hak asasi yang tidak bisa dihalangi oleh keinginan sejumlah orang tertentu. Fakta ke-minoritas-an suatu agama di suatu wilayah sama sekali tidak bisa mengurangi hak para umat agama itu untuk memiliki tempat ibadah. Kuorum 90 pemohon dan dukungan 60 warga sekitar dari PBM 2 Menteri jelas melawan UU no 12 tahun 2005.Â
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kedua kuorum tersebut seringkali menjadi batu sandungan bagi umat minoritas di suatu wilayah untuk bisa mendirikan rumah ibadah mereka di daerah itu, seperti yang terjadi pada kasus-kasus pembangunan rumah ibadah minoritas di berbagai tempat di nusantara seperti mendirikan gereja di Pulau Jawa, atau mendirikan mesjid di Sulawesi Utara atau di Papua.Â
Dengan Peraturan Bersama 2 Menteri atau PBM, tidaklah heran bahwa pada akhirnya tempat-tempat ibadah hanya dapat didirikan di tempat di mana terdapat jumlah umat beragama bersangkutan yang cukup signifikan. Sementara itu masyarakat agama mayoritas di suatu daerah akan semakin jarang melihat ada rumah ibadah agama lain di wilayahnya. Artinya Peraturan Bersama 2 Menteri ini mendorong terjadinya homogenisasi masyarakat secara demografis dan ruang. Potensi persinggungan yang semakin jarang antar umat yang beragama berbeda ini yang jelas akan membawa Indonesia semakin dekat pada fenomena segregasi  sosial.Â
Secara ekstrim, imajinatif, dan apokaliptik, jika segregasi sosial berdasar agama ini terus berlanjut, mungkin suatu hari nanti semua umat Katolik Indonesia hanya akan mendiami propinsi NTT, semua umat Kristen hanya akan menghuni Papua, Sulawesi Utara dan Sumatera Utara, umat Hindu hanya bisa ditemui di Bali, sementara umat Islam hidup di propinsi sisanya. Sulit membayangkan di mana Umat Budha, Konghucu dan penganut aliran kepercayaan akan hidup. Â
Akhirnya, jika secara ruang memang kita sudah hidup terpisah-pisah karena perbedaan status sosial dan ekonomi, mengapa pula kita menginginkan pemisahan hidup secara agama? Kecenderungan lain seperti pendirian perumahan ekslusif agama tertentu yang makin merebak (Tirto.id, 16 April 2019, BBC, 16 Agustus 2019) juga berpotensi membawa NKRI ke arah segregasi sosial.
Bola menahan laju segregasi sosial ada sepenuhnya di tangan pemerintah, yaitu dengan segera menghapus peraturan bersama 2 menteri tentang pendirian rumah ibadah atau melakukan regulasi di bidang perumahan. Kecuali jika memang agenda homogenisasi masyarakat adalah hal yang ingin dicapai. Hal ini tentu saja berlawanan dengan arus globalisasi di mana menuntut setiap warga Indonesia untuk hidup semakin terpapar dengan masyarakat yang datang dari budaya, agama atau kepercayaan lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H