Saat ini sepertinya sedang ada peningkatan kecenderungan untuk memaki-maki aparat keamanan. Malangnya ada beberapa contoh kasus selama masa Idul Fitri ini, di mana pengendara kendaraan bermotor memaki-maki polisi lantaran tidak terima saat diminta memutar balik arah.
Yang menarik adalah bahwa ada dua pelaku yang berani melakukan itu karena merasa punya 'dekingan'. Yang satu seorang bapak mengaku kenal dengan petinggi PSSI dan yang lainnya seorang ibu mengaku keluarga polisi.
Kata 'dekingan' sendiri sangat bisa diduga berasal dari bahasa Belanda yaitu kata kerja "te dekken".
Kamus Van Dale memberikan arti dari kata kerja "te dekken" ini yaitu melapisi, menutup, melindungi, menjamin, menjaga, dan mengasuransikan.
Dalam bahasa Indonesia percakapan, mengatakan punya 'dekingan' berarti 'mengenal atau memiliki seorang pelindung yang dapat menyelamatkan yang bersangkutan dari suatu masalah seperti perkara hukum', seperti polisi, anggota TNI, penegak hukum lainnya, pejabat dan lain-lain.
Bentuk ketiga atau bentuk pasif dari kata kerja 'te dekken' ini adalah 'gedekt'. Dalam bahasa Belanda, orang atau obyek yang terlindungi akan disebut sebagai sesuatu atau seseorang yang 'gedekt'.
Kata 'gedekt' ini pulalah yang sangat mungkin dahulu kala diserap oleh moyang kita penutur bahasa Jawa menjadi kata 'gedhek'.
Gedhek, kata dalam bahasa Jawa yang huruf 'e' pertama dibaca secara pepet dan yang kedua dibaca secara taling, tidak lain tidak bukan adalah dinding bambu penutup bangunan atau rumah yang sangat sederhana. Rumah berpenutup atau berdinding sederhana, semisal anyaman bambu, disebut rumah gedhek dalam bahasa Jawa, dan kata tersebut hampir pasti berasal dari kata gedekt dalam bahasa Belanda yang berarti tertutup atau berpenutup (dinding).Â
Jadi di satu sisi, mereka yang mengaku-aku memiliki dekingan juga bisa bisa kita debut sebagai orang yang terlindungi alias 'gedekt' dalam bahasa Belanda.Â
Namun di sisi lain, orang Jawa jaman dahulu juga sangat kreatif. Kata gedhek pun mereka padankan dengan kata 'rai' yang berarti wajah atau muka, menghasilkan kata 'rai gedhek' yang secara umum bisa diartikan sebagai 'muka tembok' atau 'tidak tahu malu' dalam bahada Indonesia.
Pada akhirnya penulis menyerahkan pada sidang pembaca yang budiman; apakah mereka yang mengaku-aku punya dekingan itu juga termasuk rai gedhek.
-Jakarta, 17 Mei 2021, ngantri potong rambut-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H