Melebur Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) ke dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Presiden Jokowi baru saja melakukan perubahan besar pada kabinetnya.
Menurut CNN (10 April 2021), Kemenristek dibentuk pertama kali oleh Presiden Soekarno pada tahun 1962 sebagai Kementerian Negara Urusan Riset Nasional. Hampir tak bisa dipungkiri, lewat berbagai perkembangan berbagai industri strategis seperti industri-industri yang dikelola oleh PT IPTN, PT Pindad, dan PT PAL, kemenristek mencapai kejayaannya saat B. J. Habibie menjabat sebagai menteri selama sekitar 20 tahun, antara 1978 dan 1998 yang mencakup 4 masa kabinet pembangunan, yaitu dari kabinet pembangunan III sampai dengan VI.Â
Dalam tulisannya ilmiahnya, Habibie (1990) menyebutkan bahwa lewat transfer teknologi yang bertumpu pada proses penciptaan nilai tambah yang riil, Indonesia pasti bisa menjadi negara yang mandiri secara teknologi bahkan bisa menjadi negara donor teknologi. Jika dijalankan dengan benar, proses tersebut akan menjadi wahana yang akan membawa perubahan dalam teknologi, industri bahkan keseluruhan ekonomi Indonesia.
Kemandirian teknologi yang menjadi visi Habibie adalah hal yang sangat ambisius sekaligus visioner untuk disampaikan pada akhir tahun 80-an atau awal 90-an. Impian Habibie ini bahkan mendahului visi inovasi teknologi pribumi atau zizhu chuangxin (Chen, 1994) yang baru pada pertengahan tahun 90an mulai banyak digagas oleh  akademisi, pelaku industri dan pemerintah Tiongkok untuk menggambarkan arah tranformasi ekonomi Tiongkok yang didasarkan pada teknologi.Â
Sejauh mana sudah tercapai impian Habibie akan kemandirian teknologi Indonesia, 30 tahunan setelah visi itu ia canangkan? Sudah tepatkah keputusan Presiden Jokowi untuk melebur Kemenristek ke dalam Kemendikbud?
Pengadaan vaksin COVID-19 di Indonesia sangat tergantung pada produksi vaksin tersebut di luar negeri maupun kestabilan rantai pasoknya untuk masuk ke wilayah NKRI. Embargo ekspor vaksin yang dilakukan India jelas menghambat lanjut vaksinasi COVID-19 di tanah air kita (CNBCIndonesia, 6 April 2021). Di saat mengalami kecelakaan kapal selam pun, Indonesia harus menunggu bantuan wahana penolong berteknologi canggih dari Angkatan Laut Singapura yang perlu 4 hari untuk mencapai titik kecelakaan yang jelas sudah melewati waktu kritis yaitu 3 hari (Kompasiana, 26 April 2021).
Dua contoh kecil yang memperlihatkan masih adanya kesenjangan antara permintaan akan tingkat teknologi yang canggih saat ini juga, bukan besok apalagi tahun depan atau sepuluh tahun lagi, dengan pasokan dan kemumpunian teknologi kita yang saat ini sangat tidak memadai. Kemandirian teknologi Indonesia masih jauh dari tercapai, apalagi impen-impen Habibie bahwa Indonesia akan menjadi donor alias pemasok teknologi. Coba bandingkan dengan Tiongkok yang bermimpi sama pada tahun 90an dan kini telah melesat secara teknologi jauh entah sampai di mana.
Pengembangan riset dan teknologi selayaknya dilakukan dengan memperhatikan benar apa yang menjadi kebutuhan kita sekarang juga dan di masa mendatang. Jika ingin melebur kemenristek untuk alasan anggaran negara dan efisiensi adalah sangat baik untuk meleburnya ke dalam sektor-sektor yang membutuhkan seperti industri atau sektor enerji kita yang sangat membutuhkan terobosan teknologi untuk juga mempercepat dan memperluas penggunaan tenaga air, panas bumi dan surya. Penggabungan antara sektor ristek dengan industri misalnya dilakukan oleh Kanada dan Australia, sementara penggabungan dengan sektor enerji dilakukan misalnya oleh Amerika Serikat.
Sementara mayoritas negara-negara di dunia menempatkan Kemenristek atau Kementerian Sains dan Iptek-nya sebagai kementerian yang berdiri sendiri, menghentikan kemandirian kemenristek selama hampir 60 tahun lalu meleburnya ke dalam kemendikbud seperti yang dilakukan presiden Jokowi mungkin mengikuti model yang dilakukan oleh Jepang atau Belanda.Â
Tepat atau tidakah model ini diterapkan di NKRI, sekarang tinggal waktu saja yang akan menjawab.Â