Yang menarik adalah bahwa data WHO tersebut menyatakan bahwa sekitar 62,5ri konsumsi alkohol di Indonesia adalah "unrecorded alcohol" atau alkohol tak tercatat yang di antaranya adalah alkohol selundupan dan alkohol yang dibuat oleh sektor informal baik yang legal maupun ilegal alias oplosan. Angka tersebut lebih tinggi dari rata-rata persentase alkohol tak tercatat di Asia Tenggara hanyalah sekitar 47%.
Studi dari Centre for Indonesia Policy Studies (CIPS) seperti dikutip VOA (2020) menyebutkan bahwa kematian terbesar yang terkait konsumsi alkohol disebabkan karena konsumsi alkohol oplosan. Penelitian CIPS bahkan memperlihatkan bahwa jumlah kematian akibat mengonsimsi miras oplosan justru meningkat pesat saat akses ke miras legal semakin dibatasi.
Akhirnya, memasukkan minuman keras dalam daftar positif investasi (DPI) berpotensi mengurangi konsumsi miras oplosan jika hal tersebut disertai dua hal: standardisasi dan edukasi.
Dengan standardisasi, pemerintah harus menangkap investasi yang nantinya masuk ke industri miras di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara, dan Papua untuk memperbaiki dan memutakhirkan proses produksi miras agar memenuhi standar yang layak. Berkembangnya industri miras lokal yang berstandar dan semakin menguasai pasar tentu akan mengurangi produksi miras oplosan.
Dengan edukasi, pemerintah harus secara tepat mengumpulkan dan mengelola pendapatan pajak industri miras untuk mencegah dan mengatasi segala dampak negatif atau eksternalitas dari miras itu sendiri. Salah satu yang harus diprioritaskan adalah pendidikan atau kampanye tentang bagaimana mengkonsumsi miras secara bijak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H