Siapalah aku tuk berani ngacung
Hanya bisa diam, mungkin berdengung
Berdengung? Awas jangan kelewat bergaung
Mending diam, nonton dari saung
Pagebluk menerjang meraung-raung
Ku harus diam, agar tak terendus maung
Intainya tajam bulu kuduk mematung
Ku harus tetap diam, tak membelatung
Sebulan, se-semester, setahun tak kunjung terputung
Yang besar berkoar, "Kita tak kan buntung!"
"Kawula harus diam menyunyi di relung!"
"Kawula harus nurut kami yang hitung!"
"Jangan coba keluar kampung,
Jangan coba menggelundung!
Pakai topeng, jangan badung,
Coba meriung, kami pentung!"
Ampun-ampun! Seru Mbah Kung
Pagebluk, prahara, badai bergulung
Anak ber-daring ayah terkatung
Periuk berteriak "aduh biyung!"
Tapi kau malah mengelana hai sang agung
Kunjungan mahakarya resmikan gedung rampung
Lincah melangkah tak bertudung
Acuhkan jelata yang rela terpasung
Tapi kau malah melambai hai sang agung
Kawula abai pun datang meriung
Rindu dendam lepas bersabung
'Spontanitas ini' katamu, "tak bisa dibendung!"
Berhentilah menggerutu, siasat tak mancung,
Tak guna murka, akal tanah lempung!
Jangan diperas, otak tersandung,
Diamlah di sudut, pikiran melengkung!
"Pagebluk bukan urusan jelata cangcingcung!
Biar kami pembesar, pemuka, yang menenung
Biar kami yang bergerak, menari, menuai sanjung
Rakyat jangan berkeriap macam tak tahu diuntung!"
Usailah bersungut nalarku tertelikung
Tulikan inderamu dari bunyi-bunyian mengepung
Peluklah ketidaksamaan nalarku tertelikung
Sarungkan pedangmu jangan lagi berkelimpung
-jakarta, 26 februari 2021-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H