Kamar berbau tua di rumah besar yang dulu hampir selalu ramai di akhir Ramadhan.
Bantal, kasur seprei yang terpasang sangat rapih dan teramat bersih tak bisa hilangkan bau tua kamar ini. Tidak juga jam weker digital di atas meja kerja atau kalendar siku dua ribu dua satu.
Siang sabtu itu waktu terbeku.
Hawa kota Solo di luar sana panas. Tapi suara angkutan kota dan cahaya siang cuma bisa setengah meteran saja menembus jendela.Â
Ini teritori bau tua kamar. Kamar di rumah besar yang dulu pasti ramai kalau lebaran.
Pemutar piringan hitam itu masih juga ada di situ, di pojok meja kerja. Bersih seperti sering dimainkan. Kabel listriknya masih menancap ke schakelaar di bawah di sudut kamar.Â
Kubuka pintu lemari di bawah meja. Setumpuk piringan hitam lama. Yang paling atas, kukeluarkan dari sampulnya: Sam Saimun, Irama Hidup.
Pemutar piringan hitam ini masih bekerja. 45 rpm, rotations per minute.
Suara angkutan kota kini tak lagi terdengar. Bau tua kamar berhenti memendar.
Hanya ada bapak yang berdiri menatap, memandang ke arah luar kamar. Entah berapa lama Bapak sudah ada di situ. Lantunan suaranya masih tetap merdu, tetap pulen namun sendu.Â
rindu dendam oh asrama rindukan juwita, tiada daya aku menahan ratap tangis jiwaku
dengarlah suara ombak berlagu melantunkan kasih asmara irama hidupku
Siang sabtu itu waktu terbeku.
Fonograf listrik tak lagi mengeluarkan bunyi.
Suara angkutan kota sayup terdengar lagi.
Bapak tidak ada lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI