Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

SKB 3 Menteri: Awal Menggebrak Aturan-aturan Kebablasan

5 Februari 2021   19:08 Diperbarui: 5 Februari 2021   20:27 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Patut disyukuri terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) yang dikeluarga Mendikbud Nadiem Makarim, Mendagri Tito Karnavian dan Menag Yaqut Cholil Qoumas. Secara singkat SKB yang terbit tanggal 2 Februari 2021 ini memutuskan tiga hal:

Pertama bahwa peserta didik di sekolah pemerintah (negeri) berhak memilih menggunakan pakaian seragam dan atribut tanpa maupun dengan atribut keagamaan tertenu. Kedua bahwa PEMDA dan sekolah memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk memilih menggunakan seragam seperti dimaksud dalam dictum pertama. Ketiga, PEMDA dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, mensyarakatkan, mengimbau atau melarang penggunaan seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu.

Dengan surat ini, secara otomatis pemerintah (daerah) dan sekolah negeri tidak bisa lagi misalnya mewajibkan ataupun menghimbau siswi muslim maupun non-muslim untuk mengenakan jilbab seperti yang terjadi di Padang sejak 2005.

Selain sesuai dengan berbagai aturan perundang-undangan maupun peraturan presiden dan pemerintah yang disebutkan sebagai dasar dalam SKB tersebut, keputusan tiga orang Menteri ini juga mengembalikan peran negara dan pemerintah ke dua kodratnya.

Kodrat pertama adalah bahwa negara dan pemerintah sesungguhnya tidak bisa mengatur bagaimana warga negara menjalankan kewajiban agamanya.

Hal ini bukanlah sesuatu yang baru. Perumusan sila pertama Pancasila dari yang diusulkan dalam Piagam Jakarta yang berbunyi "Ketuhanan Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" yang akhirnya berubah menjadi  "Ketuhanan Yang Maha Esa" yang kini kita kenal adalah dasar dari kodrat ini.

Di sini menjadi jelas bahwa pemerintah tidak bisa mewajibkan siswi muslim di sekolah negeri untuk berjilbab, tidak bisa mengharuskan umat muslim untuk berpuasa di bulan Ramadhan maupun mengharuskan umat Kristen dan Katolik untuk pergi beribadat di gereja di hari minggu.

Kodrat kedua adalah sesuai dengan pasal 29 ayat 2 UUD 45: bahwa negara lewat pemerintah harus menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Hal ini dikuatkan dengan pasal 28e dan 28i pada perubahan kedua UUD45 tahun 2006 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya (pasal 28e dan hak itu tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. (pasal 28i).

Pasal-pasal UUD secara  jelas letterlijk memerlihatkan bagaimana hak beragama dan berkepercayaan serta hak untuk menjalankannya adalah hak setiap orang yang bersifat individual yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan atau situasi apa pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun