Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Vaksinasi: Antara "Game-Changer" dan "Panic-then-Forget"

18 Januari 2021   07:04 Diperbarui: 24 Februari 2021   07:14 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (ANTARA FOTO/FAUZAN via KOMPAS.com)

Penanganan pagebluk COVID-19 di Indonesia memasuki babak baru dengan penyuntikan vaksin sinovac ke beberapa penerima pertamanya di Indonesia termasuk Presiden Jokowi pada tanggal 13 Januari 2021 yang lalu.

Seperti dilansir Kompas edisi 15 Januari 2021 dari kantor berita Antara, Presiden Jokowi menegaskan bahwa "Pengendalian pandemi terutama melalui vaksinasi adalah game changer, adalah kunci yang sangat menentukan agar masyarakat bisa bekerja kembali,".

Ada benar dan salahnya bahwa Presiden Jokowi mengatakan bahwa vaksin COVID-19 adalah game changer.

Kebenarannya pernyataan Presiden Jokowi bersifat faktual. Kebenaran itu terletak pada kenyataan bahwa kini Vaksinasi COVID-19 kita jadikan sebagai kunci, sebagai harapan keselamatan, pengakhir dari pagebluk yang berkepenjangan di negara kita, sebagai bel tanda akhir pertandingan yang sesungguhnya gagal kita menangkan.

Strategi vaksinasi COVID-19 bisa dilihat sebagai strategi cepat bangsa Indonesia untuk mencapai kekebalan kelompok (herd immunity) terhadap COVID-19. Usaha serius pemerintah untuk menjamin ketersediaan vaksin COVID-19 dalam jumlah massal dalam waktu sesingkat-singkatnya dapat terlihat dari keluarnya Perpres 99 tahun 2020 tentang pengadaan vaksin di awal Oktober 2020 yang bahkan sudah didahului oleh berbagai negosiasi pemerintah dengan pelbagai produsen vaksin dunia.

Menteri Airlangga Hartanto bahkan mengatakan bahwa Indonesia mengusahakan ketersediaan 143 juta vaksin di tahun 2021 yang artinya setengah dari seluruh penduduk RI (Kompas, 12 Oktober 2020).

Namun demikian strategi pemerintah ini bukan tanpa resiko.  Menganggap vaksin COVID-19 sebagai game changer sesungguhnya memungkinkan bangsa Indonesia untuk terjebak dalam siklus "Panic-then-Forget".   

"Panic-then-forget" adalah istilah yang dipopulerkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk menandai suatu fenomena di mana masyarakat melalui suatu bencana pandemi tanpa menarik pelajaran apa-apa.

Hal ini akan terjadi misalnya jika COVID-19 yang telah menimbulkan kepanikan luar biasa di pelbagai sektor dan aspek kehidupan kita dan telah begitu banyak memakan korban sakit, maupun korban jiwa dan korban ekonomi yang tidak sedikit akan berakhir dengan strategi vaksinasi sementara masyarakat kita tidak menarik pelajaran apapun dari bencana besar tersebut.

Kita bisa melihat dengan mudah bahwa segala sebenarnya segala tindakan pembatasan yang dilakukan Indonesia tidak pernah berhasil mengalahkan COVID-19. Angka kasus baru harian tidak pernah menurun sejak kasus pertama COVID-19 terkonfirmasi tanggal 2 Maret 2020, bahkan mencapai yang tertinggi, 14.224 kasus baru, hanya tiga hari setelah Presiden Jokowi menerima vaksinasi ((Kompas, 16 Januari 2021).). 

Pada saat yang sama tingkat kepositifan penularan COVID-19 di Indonesia per 11 Januari 2021 sudah mencapai lebih dari 31% Indonesia (Kompas, 11 Januari 2021). Dengan jumlah test hanya sekitar 12 test per 100 000 penduduk (Hassel et al., 2020), tingkat positifan ini masuk pada kategori tertinggi dan jelas sangat mengkuatirkan.

Di luar berbagai faktor eksternal, kegagalan Indonesia untuk mengalahkan COVID-19 tanpa vaksinasi sesungguhnya menunjukan banyaknya sistem yang tidak berjalan di negara kita yang mendesak untuk kita perbaiki. Minimal ada lima hal yang saling terkait dan mempengaruhi. 

Pertama, ketidakjelasan komando penangangan wabah, kesemrawutan koordinasi yang terjadi tidak hanya antar institusi tapi juga antar berbagai tingkat pemerintahan. Kedua, ketidak siapan infrastruktur kesehatan terutama pada awal pandemi.

Ketiga, ketidaksiapan sistem jaminan sosial untuk secara efektif menyalurkan bantuan ekonomi. Keempat, ketidakmampuan pemerintah dan masyarakat untuk melakukan protokol kesehatan dan terakhir, ketidaksiapan sektor-sektor penunjang yang diperlukan untuk memungkinkan pelaksanaan berbagai kegiatan jarak jauh terutama infrastruktur telekomunikasi dan digital.

Jika strategi vaksinasi COVID-19 mungkin akan membebaskan Indonesia dari pandemi dalam waktu satu atau dua tahun ini, membebaskan Indonesia dari segala "Panic" yaitu kepanikan hidup yang telah memakan korban selama hampir setahun ini.

Namun pada saat yang sama, bukan tidak mungkin bahwa kita akan lupa alias "Forget" akan segala keperluan mendesak untuk memperbaiki begitu banyak hal, minimal tata pemerintahan, sistem dan infrastruktur kesehatan, sistem jaminan sosial, kualitas Pendidikan secara umum, maupun infrastruktur telekomunikasi dan digital.

Bahaya jebakan "Panic-then-forget" begitu jelas di depan mata. 

Pesta-pesta tanpa prokes yang dilakukan sejumlah selebritas hanyalah ujung gunung es (iceberg) dari berbagai pertanda bahwa tingkat pemahaman dan intelektualitas kita tentang pandemi masih begitu rendah, kita tidak (mau) belajar apa-apa dan  dengan pongah dan penuh eforia sedang masuk dalam perangkap itu.

Dalam pada itu, para pakar sudah memperingkatkan bahwa COVID-19 jelas bukan pandemi satu-satunya atau yang terakhir yang akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan (BBC, 6 Juni 2020).

- sebelum sarapan pagi, Jakarta, 18 Januari 2021 -

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun