(sumber gambar: Tempo - kasus cibiru 2010)
Frédéric Jean Salvi alias “Ali si Jangkung” (le Grand Ali) menjadi terkenal pertama kali saat namanya dikaitkan dengan dugaan kegiatan terorisme di Cibiru, Bandung pada tahun 2010. Seperti diberitakan harian Tempo (11/08/2010) pasukan Densus 88 pada saat itu menangkap 5 orang yang terduga terlibat dalam jaringan teroris yang disinyalir mempersiapkan serangan bom atas beberapa obyek vital antara lain Markas Brimob, Mabes Polri, Kedutaan Besar Amerika, Inggris dan Australia. Kepala Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian saat itu, Komisaris Jenderal Ito Sumardi (Tempo (18/08/2010)) menyebutkan keterlibatan Salvi sebagai pemilik satu unit mobil yang ditemukan disaat penyergapan dan diduga akan digunakan sebagai bom mobil. Sumardi juga menyatakan bahwa Salfi sudah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Nama Salvi kembali “mengudara” saat terjadi pengeboman atas Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Paris, Perancis pada bulan Maret 2012. Kepala Badan Anti Teror Indonesia saat itu, Ansyaad Mbai menduga adanya peran Salvi di balik serangan atas KBRI di Paris. Serangan itu, sebagaimana dikutip Tribun News (30/3/2012), menurut Mbai dilakukan Salvi sebagai desakan terhadap pemerintah RI untuk berhenti menerima dana keamanan dari Amerika Serikat (AS), dan Australia, yang berujung pada sejumlah penangkapan, dan penembakan, anggota kelompok militan di Indonesia.
Terakhir nama Salvi muncul kembali setelah media Perancis mengaitkannya sebagai mentor atau pembimbing rohani dari Yassin Salhi, tersangka pelaku pemenggalan kepala sekaligus penyerang pabrik gas cair di Isère, Perancis beberapa minggu yang lalu.
Di mana Frédéric Jean Salvi yang beristrikan warga negara Maroko itu berada?
Media-media di tanah air pada tahun 2010 memberitakan bahwa Polri saat itu berhasil melacak keberadaan Salvi dan dia terindikasi berada di Mauritania di Afrika Sub-Sahara. Tidak ada satu media pun yang memberitakan di mana Salvi berada setelah 2010.
Edisi online harian Perancis L’est Républicain terbitan 6 Juli 2015 lusa secara mengejutkan memuat wawancara wartawan harian tersebut dengan Salfi. Diberitakan bahwa sejak 4 tahun yang lalu Salfi menetap dengan istri dan 5 anaknya di Leicester, Inggris.
Bekerja sebagai pelatih olah raga bela diri di kota tersebut, Salvi membantah semua sangkaan akan keterlibatannya dengan kegiatan terorisme di Cibiru Bandung maupun dengan kasus pemenggalan dan penyerangan pabrik gas cair di Prancis.
Menurut Salvi dia sudah meninggalkan Indonesia pada bulan April 2010 untuk pergi ke Maroko mengunjungi keluarga istrinya, jauh sebelum penangkapan di Cibiru terjadi (Agustus 2010).Dari Maroko, Salvi pindah ke Mauritania dan pada bulan Agustus tahun itu dia mengetahui bahwa namanya dikaitkan dengan peristiwa Cibiru.
Salvi mengakui bahwa kendaraan tersebut (mobil Mitsubishi 1979/80) memang pernah menjadi miliknya yang sudah dijualnya sebelum meninggalkan Indonesia tanpa ada kaitan sama sekali dengan kegiatan terorisme.
Salvi mengklaim bahwa dia selalu berhubungan dengan pemerintah Perancis dan bahwa keberadaannya selalu diketahui oleh pemerintah negaranya maupun pemerintah Inggris di mana ia bermukim. Ia mengakui memilih tinggal di Inggris karena iklim negara tersebut yang lebih ramah terhadap muslim ketimbang negara asalnya, Perancis.
Apakah kepolisian Republik Indonesia tetap serius dengan DPO-nya?
Berbagai media non-mainstream pada tahun 2010 banyak yang mengindikasikan kasus penangkapan tersangka teroris Cibiru sebagai rekayasa alias pesanan Australia atau Amerika Serikat. Kejelasan keberadaan Frédéric Jean Salvi di Inggris adalah kesempatan emas buat kepolisian untuk segera menuntaskan berbagai pertanyaan publik yang menggantung akan kasus Cibiru. Atau tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H