Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Ada 'Jebakan Betmen' di Pasal 33 UUD45?

9 April 2015   14:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:20 1080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_408969" align="aligncenter" width="560" caption="Ilustrasi | Foto: Ajie Nugroho - Kompasianer Hobi Jepret"][/caption]

Setelah hampir 70 tahun merdeka, ternyata negara kita hanya memiliki konsep pembagian atau distribusi yang tidak kuat. Secara praktis misalnya saya tidak menemukan adanya suatu konsep dasar yang bisa kita pakai sebagai pegangan untuk membagi pendapatan ekonomi rakyat sebagai suatu negara secara adil.

Kala bicara tentang pembagian atau distribusi pendapatan ekonomi, maka konsep yang paling sering kita jadikan acuan adalah konsep yang terkandung dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 45 berbunyi:

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Adalah frasa "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" yang sering kita pandang sebagai konsep pembagian yang adil. Dengan kata lain, saat sumber daya alam atau SDA (bumi, air dan kekayaan alam) di negeri kita dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, saat itulah pembagian pendapatan ekonomi di negara kita telah dilakukan dengan adil.

Frasa "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" yang selalu terdengar begitu ideal bagi sebagian besar dari kita, justru saya tenggarai sebagai asal usul diambilnya berbagai kebijakan yang menyebabkan berbagai ketidakadilan ekonomi selama ini.

Utilitarianisme di balik frasa "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat"

Frasa "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" dalam pasal 33 ayat 3 UUD 45 menyatakan tujuan dari penguasaan dan penggunaan bumi dan air dan kekayaan alam di negara kita. Ada dua komponen dalam frasa tujuan ini yaitu "untuk sebesar besar" dan "kemakmuran rakyat".

Jika "untuk sebesar-besar" dapat kita ganti dengan "untuk me-maksimal-kan", maka keseluruhan frasa dapat pula kita singkat sebagai "untuk me-maksimal-kan kemakmuran rakyat".

"Untuk me-maksimal-kan kemakmuran rakyat" adalah suatu kalimat yang sangat sesuai dengan faham utilitarianisme. Menurut Wikipedia berbahasa Indonesia, utilitarianisme adalah adalah suatu teori dari segi etika normatif yang menyatakan bahwa suatu tindakan yang patut adalah yang memaksimalkan penggunaan (utilitas atau utility). "Penggunaan" atau "utilitas" biasanya didefinisikan sebagai kebahagiaan atau kemakmuran. Utilitarinisme sendiri seringkali digolongkan dalam mazhab pemikiran hedonisme yaitu suatu pemikiran yang menganggap bahwa kebahagiaan adalah hal yang paling medasar. Pandangan ini sering diasosiasikan sebagai pandangan yang bertujuan memaksimalkan kebahagiaan.

Dalam ilmu ekonomi, pendekatan utilitarianisme adalah salah satu indikator atau pengukur kemakmuran masyarakat suatu negara yang paling sering dipakai. Indikator ini secara kasar adalah penjumlahan total dari utilitas-utilitas (atau kemakmuran) setiap anggota masyarakat (perorangan) di negara tersebut. Semakin besar jumlah total kemakmuran tiap-tiap perorangan anggota masyarakat, semakin makmurlah negara yang bersangkutan. Dengan demikian tidaklah heran jika me-maksimal-kan jumlah total kemakmuran menjadi tujuan utama dari pendekatan utilitarianisme dalam ekonomi.

Amartya Sen: "Utilitarianisme bukanlah konsep pembagi!"

Bukan salah bapak-bapak pendiri bangsa dan perancang UUD 45 kita saat ini seperti Soekarno, Mohammad Yamin dan Soepomo bahwa ada semangat utilitarianisme dibalik pasal 33 ayat 3 UUD 45.

Pandangan utilitarianisme yang dipelopori filsuf Inggris Jeremy Bentham di abad ke-18 memang dianggap sebagai konsep sahih untuk membagi pendapatan ekonomi masyarakat. Dengan kata lain dengan me-maksimal-kan jumlah kemakmuran individual, pembagian pendapatan ekonomi masyarakat juga telah terbagi atau terdistribusi secara adil. Kesahihan pandangan ini didukung oleh para ekonom besar dunia sampai dengan pertengahan abad ke-20 seperti Alfred Marshall, Arthur Pigou, Dennis Robertson dan lain-lain.

Apa problem pandangan maksimalisasi kemakmuran a la utilitarianisme?

Menurut pemenang nobel ekonomi 1998 dan profesor Oxford asal India, Amartya Sen satu-satunya problema dengan pandangan maksimalisasi kemakmuran sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembagian pendapatan ekonomi! Otomatis, kalimat "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" di pasal 33 ayat 3 UUD 45 tidak bisa dipakai sebagai konsep acuan untuk pembagian pendapatan ekonomi di negara kita.

Kesalahan konsep "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" atau maksimalisasi kemakmuran rakyat adalah bahwa konsep ini tidak memperdulikan bahwa setiap individu tidak memiliki kemampuan yang sama untuk menghasilkan kemakmuran. Secara sederhana: jika pendapatan ekonomi negara dibagi rata secara jumlah, maka individu yang lebih "mampu" misalnya secara fisik, ekonomi, maupun tingkat pendidikan tentu akan menghasilkan "kemakmuran" atau keuntungan ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan individu yang lebih "lemah" misalnya cacat fisik, lemah secara ekonomi maupun tingkat pendidikan.

Adalah suatu konsekuensi yang logis bagi pemerintah yang menganut konsep maksimalisasi kemakmuran untuk mengalokasikan pendapatan atau dana yang lebih besar kepada individu atau golongan yang lebih mampu dibandingkan kepada mereka yang lemah karena dengan demikian "jumlah total kemakmuran" akan menjadi maksimal.

Yang kuat akan semakin dapat banyak, sebaliknya yang lemah akan semakin dapat sedikit! Dan semua ini diperbolehkan oleh konstitusi...

Contoh kasus ketidakadilan: subsidi BBM eceran

Kebijakan subsidi BBM eceran adalah contoh jelas aplikasi dari pandangan utilitarianisme yang mendasari pasal 33 ayat 3 UUD 45.

Studi kementrian koordinator bidang perekonomian di tahun 2008 menyatakan bahwa 70% dari subsidi BBM eceran dinikmati oleh 40% rumah tangga dengan tingkat ekonomi tertinggi di Indonesia. Studi Bank Dunia (2009) juga mengungkapkan hal yang nyaris sama: 60% dari subsidi BBM eceran dinikmati oleh 40% rumah tangga dengan pendapatan tertinggi pada tahun 2005. Studi yang dilakukan Beaton dan Lontoh (2010) juga menyatakan bahwa pada era subsidi, minyak tanah dijual pada masyarakat berekonomi lemah di luar Jawa dengan harga 6 kali lipat dari harga subsidi.

Sulit untuk mengatakan bahwa pemerintah sebelum era Jokowi-JK tidak mengetahui bahwa kebijakan subsidi BBM eceran lebih banyak menguntungkan masyarakat mampu ketimbang yang lemah dan yang memang membutuhkan.

Dasar pemikiran pemikiran utilitarianisme ekonomi memang mengarahkan kita pada pengambilan kebijakan subsidi BBM eceran dengan tujuan maksimalisasi kemakmuran total seperti yang mungkin bisa ditunjukan oleh indikator-indikator khas kemajuan negara seperti pendapatan nasional bruto  dan bukan dengan tujuan pembagian pendapatan yang adil kepada seluruh masyarakat.

Menuju Amandemen kelima?

Akhirnya sebagai bukan pakar apalagi pendekar di bidang hukum maupun ekonomi saya tidak bisa mengusulkan apa-apa selain mengingatkan bahwa ada ketidaksempuranaan pada pasal 33 ayat 3 UUD 45. Ketidaksempurnaan ini sayangnya justru jadi pangkal berbagai pengambilan kebijakan yang berakibat pembagian pendapatan ekonomi yang tidak adil di masyarakat.

Sudah cukup banyak pendekatan teori tentang bagaimana membagi pendapatan ekonomi secara adil yang dikembangkan para ekonom maupun filsuf dari luar seperti Amartya Sen, John Ralws, dan lain-lain maupun dari dalam negeri seperti pemikiran Bung Hatta yang bisa kita pakai bersama untuk merumuskan kembali konsep pembagian ekonomi yang adil yang bisa kita pakai di negara kita.

Masalahnya adalah apakah masalah dan isu kesetaraan sudah kita anggap sebagai isu relevan dalam diskusi politik?

Atau cukup masalah ini cukuplah dipakai saja sebagai komoditas atau senjata dalam perebutan kekuasaan tanpa mencari solusi?

Buat dibaca-baca

Beaton, C, and Lontoh, L (2010), Lessons Learned from Indonesia's Attempts to Reform Fossil-Fuel Subsidies, International Institute for Sustainable Development

http://www.esdm.go.id/siaran-pers/55-siaran-pers/1754-penjelasan-pemerintah-tentang-pengurangan-subsidi-bbm-dan-kebijakan-lain-yang-menyertainya.html

World Bank. (2009). Appendix C: Distributional incidence of subsidies. In Worldbank: Climate change and the World Bank Group. Phase 1: An evaluation of World Bank win-win energy policy reforms (pp. 114-119).

Pendapatan ekonomi saya definisikan sebagai 'obyek' yang selayaknya kita bagi di negara kita yaitu segala hasil kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat yang bisa dinilai secara uang. Saya terbuka akan segala masukan tentang 'obyek' pembagian tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun