Sulit untuk mengatakan bahwa pemerintah sebelum era Jokowi-JK tidak mengetahui bahwa kebijakan subsidi BBM eceran lebih banyak menguntungkan masyarakat mampu ketimbang yang lemah dan yang memang membutuhkan.
Dasar pemikiran pemikiran utilitarianisme ekonomi memang mengarahkan kita pada pengambilan kebijakan subsidi BBM eceran dengan tujuan maksimalisasi kemakmuran total seperti yang mungkin bisa ditunjukan oleh indikator-indikator khas kemajuan negara seperti pendapatan nasional bruto  dan bukan dengan tujuan pembagian pendapatan yang adil kepada seluruh masyarakat.
Menuju Amandemen kelima?
Akhirnya sebagai bukan pakar apalagi pendekar di bidang hukum maupun ekonomi saya tidak bisa mengusulkan apa-apa selain mengingatkan bahwa ada ketidaksempuranaan pada pasal 33 ayat 3 UUD 45. Ketidaksempurnaan ini sayangnya justru jadi pangkal berbagai pengambilan kebijakan yang berakibat pembagian pendapatan ekonomi yang tidak adil di masyarakat.
Sudah cukup banyak pendekatan teori tentang bagaimana membagi pendapatan ekonomi secara adil yang dikembangkan para ekonom maupun filsuf dari luar seperti Amartya Sen, John Ralws, dan lain-lain maupun dari dalam negeri seperti pemikiran Bung Hatta yang bisa kita pakai bersama untuk merumuskan kembali konsep pembagian ekonomi yang adil yang bisa kita pakai di negara kita.
Masalahnya adalah apakah masalah dan isu kesetaraan sudah kita anggap sebagai isu relevan dalam diskusi politik?
Atau cukup masalah ini cukuplah dipakai saja sebagai komoditas atau senjata dalam perebutan kekuasaan tanpa mencari solusi?
Buat dibaca-baca
Beaton, C, and Lontoh, L (2010), Lessons Learned from Indonesia's Attempts to Reform Fossil-Fuel Subsidies, International Institute for Sustainable Development
World Bank. (2009). Appendix C: Distributional incidence of subsidies. In Worldbank: Climate change and the World Bank Group. Phase 1: An evaluation of World Bank win-win energy policy reforms (pp. 114-119).