Tahun 1985-1986 adalah tahun di mana saya keranjingan breakdance alias tari kejang yang oleh Rudi Badil di radio Prambors Rasisonia dulu disebut sebagai joget pedot, jogetane londho. Breakdance buat saya dan teman-teman dulu bukanlah sekedar tarian. Breakdance juga adalah cara berpakaian, cara bergerak, cara memandang segala sesuatu, dan sebagai... perlawanan! Perlawanan? Ya ini adalah sebuah kisah perlawanan... Sabtu Siang di pertengahan 1985 itu, usailah sudah ulangan umum terakhir kelas 5 SD. Sebagai breakers hal ini ingin kami rayakan dengan mengadakan show dadakan di trotoir di depan halaman sekolah. Sebenarnya pihak sekolah sudah melarang tarian ini di lingkungan sekolah. Alasannya, konon, breakdance bisa menyebabkan konsentrasi siswa ke pelajaran di sekolah menjadi berkurang yang berakibatnya pada rendahnya prestasi belajar seperti ditunjukan oleh hasil nilai EBTANAS, menggoyahkan sendi-sendi ketakwaan siswa maupun sendi-sendi perekonomian bangsa di kelak kemudian hari. [caption id="" align="aligncenter" width="363" caption="Kira-kira begini show di depan sekolahan"][/caption] Tapi kami cuexxx...The show must go on. Teman saya, Indra sudah bawa Mini-Compo (bukan mini kompor, red). Teman saya lainnya, Panca, sudah bawa kardus bekas tivi yang bakal jadi alas menari. Saya sendiri sudah pakai ikat kepala a la petenis Bjorn Borg dan pakai sarung tangan vespa punya Om saya yang jari-jarinya sudah saya guntingi. Pokoknya kita semua sudah still banget saat itu. [caption id="" align="aligncenter" width="218" caption="Ini petenis Bjorn Borg, bukan Breaker"]
[caption id="" align="aligncenter" width="346" caption="Bukan Suster Kepsek"]
after match
Setelah diomelin di kantor Suster, saya dikenai hukuman skorsing 2 hari. Teman-teman saya yang di kemudian hari saya ketahui bersembunyi di warung somay kang Warso saat sidak Suster Kepsek juga terkena skorsing 2 hari. Tapi mereka lebih enak karena tidak pakai acara diomelin, langsung di-skors. Sejak saat itu kami tidak pernah lagi bikin show kejang di sekolah. Acara tari kejang paling-paling kami lakukan di acara ulang tahun teman. Di sekolah kami cukup puas dengan main bentengan, galasin (go back so door) atau ngadu biji karet.
....one year later
Di suatu siang kira-kira setahun setelah kejadian itu, tiba-tiba Jay teman saya yang paling reman (maksudnya "preman", red.) dan ke mana-mana selalu menenteng clur.. eh penggaris plastik, memberitahu saya sambil petentengan, "Jok, loe dipanggil Suster ke kantor!" Wadohh... ada masalah apa lagi neh dipanggil Suster, tanya sama dalam hati. Sambil menuju ke kantor saya pun mengingat dosa apa kira-kira yang bisa bikin saya kena hukum: mangkok bakso di kantin yang pecah tempo hari sudah saya ganti, jendela perpus yang retak sudah kami isolasi, kunci WC juga sudah kami kembalikan ke pak bon, kucing sekolah yang bunt.. eh itu sih bukan urusan saya! Akhirnya saya masuk ke kantor Suster. Sambil (pura-pura) mengoreksi ulangan siswa, Suster Kepsek bertanya ke saya, "Jok, kamu tahu sekolah kita bakal membuat malam kesenian akhir tahun?" "Ya Suster", jawab saya sambil mikir... "Bisa tidak, kamu bikin acara breakdance dengan teman-temanmu untuk dipentaskan di malam kesenian?" tanya Suster. "Bisa Suster!", jawab saya girang tak terkira... Sambil berkata....yes! (dalam hati). "Ngapain kamu cengegesan?! Keluar sana!" kata Suster sambil masih (pura-pura) mengoreksi ulangan. Moral op de story: dijewer kuping yang sebelah kanan oleh Suster Kepsek bukan berarti di kemudian hari kuping kiri bakal juga kena jewer... NB: - Cerita ini tidak untuk dilombakan di ajang lomba Koplak Yo Band. - Nama-nama pelaku, tempat kejadian tidak disamarkan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H