[caption id="attachment_327220" align="aligncenter" width="332" caption="Kran bir (dok.pri)"]
![1401779580439404335](https://assets.kompasiana.com/statics/files/1401779580439404335.jpg?t=o&v=555)
![Juara dunia Beer Tapping](https://assets.kompasiana.com/statics/crawl/5561ccf10423bd5c128b4567.jpeg?t=o&v=555)
Nge-"bir" yuk?
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk mengajak apalagi menganjurkan pembaca untuk menjadi peminum bir. Tidak. Sama sekali tidak. Mohon tidak menuduh apalagi bertindak anarkis... (halah) "Bir" yang saya maksud dalam judul tulisan adalah bagaimana kita bisa mencontoh negeri kecil Belgia ini dalam hal keseriusan untuk mengembangkan suatu tradisi kuno yang sudah menjadi gaya hidup sehari-hari. Di Indonesia sendiri tradisi kuno berbentuk seni dari kerajinan sampai gastronomi dari musik sampai tari yang bisa kita 'jual' dan menjadi kebanggaan rasanya tidak terhitung banyaknya dan tidak usah disebutkan di sini. Tapi sudah punyakah kita keseriusan untuk men'jual'nya? Atau kita sekedar membiarkan hukum alam berlaku agar setiap tradisi itu mengembangkan dirinya sendiri-sendiri, lalu sekedar teriak-teriak atau bengak-bengok saat negera lain kita tuduh mencuri tradisi atau budaya kita? Sekali lagi mudah-mudahan kita tidak juga gampang main tuduh (mencuri) apalagi bertindak anarkis... (halah, lagi).
-The End/Fin/Tamat-
----- pesan dari Koplak Yo Band: "nulis tentang bir? Kapokmu kuaaapaann le?!"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI