Transportasi adalah buah simelekete.
Di sisi pertama transportasi menghabiskan begitu banyak energi serta menimbulkan dampak ekonomi, lingkungan maupun sosial yang tidak kecil. Di sisi kedua, buku-buku teks ekonomi transportasi selalu menyebut kebutuhan berperjalanan sebagai suatu derived demand atau permintaan turunan yaitu kebutuhan yang tercipta karena adanya kegiatan ekonomi lainnya. Transportasi sebagai permintaan turunan juga berarti bahwa perekonomian tidak akan bisa berjalan tanpa transportasi.
Dua sisi dari transportasi ini juga yang nampak berkonflik saat Pertamina memutuskan membatasi penjualan BBM bersubsidi di negeri kita: rendahnya ketersediaan BBM dengan harga murah versus tingginya permintaan masyarakat yang mengklaim berhak untuk menggunakan BBM bersubsidi agar terus bisa bergerak dengan harga terjangkau. Di satu sisi, pemerintah tidak sanggup lagi menyediakan pasokan BBM dengan harga murah namun di sisi lain sangat nyata bahwa kegiatan perekonomian terutama yang digerakan oleh masyarakat menengah ke bawah tidak bisa dilepas begitu saja mengikuti harga BBM di pasar bebas.
Subsidi BBM masih diperlukan oleh kalangan tertentu untuk menjamin tetap bergeraknya perekonomian negara. Konflik muncul saat pada prakteknya subsidi BBM tersebut tidak dapat diterapkan mengena sasaran seperti yang selama ini didengungkan pemerintah yaitu masyarakat menengah ke bawah.
Satu solusi yang bisa dilakukan untuk mengarahkan subsidi BBM secara tepat dan kena sasaran adalah penyalurannya melalui pajak penghasilan.
Inti dari solusi ini ada dua hal yang bersamaan harus dilakukan: pertama liberalisasi total harga BBM di pasaran alias penyeragaman harga bensin Pertamina di manapun menjadi hanya “non-subsidi” dan kedua penyaluran subsidi BBM lewat pengembalian atau peringanan pajak penghasilan berdasarkan data SPT yang diisi oleh setiap wajib pajak.
Untuk menerapkannya ada dua pertanyaan yang harus digarap pemerintah yaitu “siapa yang berhak menerima” dan “berapa jumlah subsidi yang berhak diterima”?
Siapa yang berhak menerima?
Pemerintah selama ini hanya mendengungkan bahwa BBM bersubsidi hanya diperuntukan bagi warga berpenghasilan menengah ke bawah dan kendaraan milik perusahaan angkutan umum dan angkutan barang. Kriteria ini sendiri tidak pernah terlalu jelas. Berapa batas-batas penghasilan masyarakah kelas menengah? Masyarakat kelas bawah? Apakah ini terkait dengan garis batas kemisikinan? Lalu apa kategori perusahaan angkutan umum dan barang yang berhak memanfaatkan BBM bersubsidi?
Kriteria penerima subsidi BBM ini harus dirumuskan lewat kajian. Kriteria sosio-ekonomi-demografi penerima, baik itu perorarangan maupun perusahaan harus jelas dirumuskan, misalnya lewat penentuan batas (threshold) penghasilan per kapita atau per unit konsumsi per keluarga wajib pajak untuk perorangan atau besarnya modal atau ukuran perusahaan wajib pajak yang dikombinasikan dengan kriteria geografis misalnya ketersediaan sarana transportasi di wilayah tempat tinggal si wajib pajak, pendapatan domestik wilayah si wajib pajak dan lain-lain.
Saat kriteria sudah ditetapkan maka akan mudah bagi pemerintah untuk menetapkan bahwa seorang wajib pajak berhak menerima subsidi BBM lewat data yang terkumpul dari SPT tahunan yang diisi yang bersangkutan.
Berapa besar subsidinya?
Premis bahwa transportasi diperlukan agar perekonomian berjalan berakibat bahwa subsidi BBM hanya diberikan untuk perjalanan dengan motivasi bekerja atau bisnis. Dengan demikian pemerintah mampu menghitung berapa jarak perjalanan dengan motivasi kerja atau bisnis yang dilakukan oleh seorang calon penerima subsidi BBM.
Untuk menentukan berapa subsidi yang harus diberikan, maka satu kolom atau bagian dari SPT dapat didedikasikan untuk memungkingkan pemerintah menghitung jarak ini. Secara sederhana kolom atau bagian ini harus didisain untuk mengumpulkan data tentang jumlah kendaraan yang dimiliki sang wajib pajak baik perorangan maupun perusahaan dan berapa jarak perjalanan yang ditempuh per tahunnya untuk keperluan bekerja atau bisnis.
Apa untung ruginya?
Paling tidak ada 3 keuntungan yang bisa kita dapatkan dari menerapkan kebijakan ini:
Pertama, subsidi BBM tepat sasaran. Liberalisasi harga BBM di semua pom bensin dibarengi dengan penyaluran subsidi BBM lewat deklarasi pajak akan menghindarkan pembelian BBM oleh pihak-pihak yang tidak berhak.
Kedua, minimisasi masalah di lapangan. Hari ini sukar sekali membedakan mana pembeli yang berhak atas BBM bersubsidi dan mana yang tidak. Penggunaan RFID atau Radio Frequency Identification di setiap kendaraan mungkin adalah solusi praktis cepat dan praktis saat ini. Namun benarkah pemilik kendaraan ber-RFID benar-benar masuk kriteria penerima subsidi BBM?
Ketiga, pembelajaran untuk kita semua bahwa berperjalanan memakan biaya yang tidak sedikit. Dengan liberalisasi harga BBM di semua pom, kita akan belajar untuk memilah atau menyiasati agar perjalanan yang kita lakukan adalah se-efisien mungkin.Tidak effisiennya negeri kita di jalan raya sudah sangat jelas: di tahun 2010 saja Indonesia perlu 0,05 liter diesel untuk mendapatkan 1 USD pendapatan domestik bruto. Angkutan jalan raya negara-negara Asia dengan efisiensi lebih tinggi seperti Singapura dan RRC misalnya, masing-masing hanya membutuhkan 0,01 dan 0,03 liter bahan bakar diesel untuk setiap 1 USD PDBnya (link). Pada saat kita ‘belajar’ dan membiasakan diri inilah pemerintah juga bisa secara bertahap menghilangkan subsidi terhadap BBM.
Di luar keuntungan di atas, ada dua kerugian yang mungkin terjadi:
Pertama, subsidi BBM lewat pengembalian atau peringanan pajak terjadi beberapa bulan setelah SPT diserahkan oleh wajib pajak. Resiko bahwa bahwa penerima subsidi BBM harus menalangi alias membeli BBM dengan harga non-subsidi pada tahun pertama pemberlakuan kebijakan ini dapat diatasi pemerintah dengan tetap memberikan subsidi BBM (seperti hari ini) sampai dengan saat pengembalian pajak atau peringanan pajak pertama terjadi.
Kedua, kemungkinan penipuan data SPT (fraude). Resiko ini dapat terjadi misalnya saat sang wajib pajak mengisi data dengan melebihkan jumlah kilometer perjalanan pertahunnya atau melakukan klaim lainnya untuk memperbesar kans-nya untuk mendapat subsidi. Resiko fraude bukanlah hal yang asing dalam deklarasi pajak. Mekanisme anti fraude atau kebohongan data harus dibuat untuk mengatasi hal ini.
Dari subsidi BBM ke Subsidi Biaya Transportasi Umum
Kembali ke premis bahwa perekonomian tidak akan bisa berjalan tanpa transportasi, sebenarnya subsidi tidaklah hanya diberlakukan terhadap BBM yang dihabiskan oleh kendaraan bermotor di jalan raya.
Lebih jauh lagi mengingat dampak ekonomi dan lingkungan yang sejauh ini sudah terlampau besar ditimbulkan kendaraan bermotor di jalan raya, subsidi transportasi pada hakekatnya lebih layak diberikan kepada wajib pajak pengguna angkutan umum massal maupun kendaraan tidak bermotor seperti sepeda, perahu, bahkan jalan kaki.
Di beberapa negara eropa barat hal ini dimungkinkan dengan dibuatnya kolom khusus di SPT tahunan dengan rangkaian pertanyaan yang memungkinkan bagi pemerintah untuk mendapat data perjalanan dengan motivasi kerja yang menyangkut tidak hanya jarak (km) namun juga moda perjalanan.
Pencakupan moda lainnya dalam data SPT seperti ini di kemudian hari akan memungkinkan diskriminasi antar moda dalam pemberian subsidi yang dapat meningkatkan pemakaian angkutan umum yang lebih ekonomis dan ramah lingkungan ketimbang kendaraan bermotor di jalan raya dan pada saat yang sama menekan konsumsi BBM di jalan raya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H