Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kompasiana & Barbarisme Jurnalistik

30 Desember 2014   17:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:10 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak terlalu sulit untuk mengerti mengapa Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers Indonesia memuat pasal 3 seperti itu. Sebagaimana tercantum dalam pembukaan Kode Etik, salah satu tujuannya adalah untuk "memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar".

Kecepatan di atas Akurasi?

Tidak bisa dipungkiri bahwa “kecepatan pemberitaan dan analisa” adalah salah satu kekuatan pemberitaan lewat blog maupun media sosial lainnya sebagaimana Kompasiana sebagai suatu bentuk baru media pemberitaan di internet yang bertumpu pada sumbangan tulisan ribuan kompasianernya.

Di saat media mainstream masih mereka-reka atau menganalisa kebenaran suatu peristiwa, Kompasiana lewat tulisan kompasianernya sudah memberitakan peristiwa atau bahkan analisa tercepat dari peristiwa tersebut.

Kasus tulisan 'sejuta hits' di Kompasiana tentang dugaan penggunaan telepon genggam sebagai penyebab jatuhnya pesawat Sukhoi di Gn Salak, 9 Mei 2012 yang lalu merupakan salah satu contoh ekstrem kecepatan pemberitaan tanpa akurasi di mana akhirnya Admin Kompasiana harus turun tangan untuk meralat tulisan yang bersangkutan.

Serangkaian kecelakaan penerbangan yang terjadi selama tahun 2014 sampai dengan tragedi Air Asia beberapa hari yang lalu yang cukup memicu berbagai tulisan spekulatif di Kompasiana yang membuahkan ribuan hits pembaca sebagaimana pula ratusan tulisan terkait kegiatan Pemilihan Umum di tanah air dan tulisan-tulisan debat politik yang seringkali lebih bersifat spekulatif dibandingkan informatif.

Sesendok Teh Etika


Menomorduakan akurasi dan memberi prioritas pada kecepatan dan jumlah hits pada dasarnya adalah jebakan manusia kelelawar.

Pertama, saat akurasi tidak menjadi prioritas, Kompasiana akan dianggap sebagai media kuning atau media kelas dua oleh pembaca yang memiliki kesadaran akan pentingnya informasi yang benar. Judul yang bombastis atau isi berita yang sensasional memang menarik jumlah hits pembaca. Namun pembaca yang pintar akan mampu membedakan berita maupun analisa yang ditulis di atas fakta yang sudah di-cross checked atau teruji kebenarannya dan berita atau analisa yang hanya bersifat spekulatif alias murni kothak kathik gathuk.

Kedua, menomorduakan kebenaran atau akurasi adalah cikal bakal dari barbarisme jurnalistik**. Barbarisme jurnalistik adalah jurnalime tanpa etika yang bentuk ekstrimnya adalah penggiringan ataupun pembentukan opini dengan cara membungkam fakta-fakta untuk kepentingan tertentu yang pada umumnya adalah kepentingan politik.

Saat Kompasiana sudah berusia lebih dari 6 tahun dan Kompasianival sudah lewat kesekian kalinya diselenggarakan dengan segala hingar bingarnya, mengapa kita tidak mencoba mulai lebih mendorong akurasi tulisan ke depan dan menggeser kecepatan ke belakang?

Selamat menyambut 2015.

* (SK Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006)
** istilah ini saya kutip dari Perraud, Antoine (2007), La Barbarie Journalistique, Edition Flammarion, 193 p.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun