Mohon tunggu...
Riyadijoko Prastiyo
Riyadijoko Prastiyo Mohon Tunggu... Penulis lepas -

Pemuda, Pembaca, Penulis, Pengamat Sejarah dan Penikmat Sastra. www.theriyadijoko.info theriyadijoko@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Generasi Widji dan Sesudahnya

27 Agustus 2016   09:13 Diperbarui: 7 September 2016   15:27 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Widji Thukul membacakan puisi di depan anak-anak di perkampungan, medio 1990an. | sumber: http://blogmasjok.wordpress.com

Saya lahir tepat tiga dekade pasca Angkatan 66 turun ke jalan, di bulan yang sama saat tertembaknya Arif Rahman Hakim. Dan juga beberapa bulan menjelang kerusuhan 27 Juli di Jakarta. Sudah jelas betul saya tak sempat merasakan apa yang dirasakan Widji Widodo, seorang penyair yang akrab dengan nama panggilan Widji Thukul. Jika ditilik dari arsip sajak-sajaknya, sudah sejak medio 1980-an ia telah mencurahkan keresahannya seputar sosial dan kerakyatan. Kita bisa merasakan betapa jujurnya tiap kata dalam bait yang ia tuliskan. Alegori atau pun majas-majas yang ia gambarkan tak terasa dibuat-buat. Dalam ‘Bunga danTembok’ misalnya, ia menggambarkan pemberontakan –sebagai sekumpulan tanaman bunga– yang berkeyakinan bahwa tembok tirani itu harus hancur. Ia berkata 'harus', bukan 'pasti'. Keyakinan yang ia gambarkan terasa tetap rendah hati. Ia tetap menjadi seorang Widji yang menengadah ke langit, dan seolah tak mau menjadi matahari kembar yang ingin menjatuhkan matahari yang hampir redup.

Namun tidak semua orang yang tumbuh dan berkembang segenerasi dengan Widji itu menjadi martir perlawanan terhadap rezim yang berkuasa. Ayah saya contohnya. Beliau adalah salah satu saksi sejarah bagaimana kakek saya diseret-seret Bintara, lalu didata –-apakah mantan penandu Jenderal Sudirman itu-– akan dijadikan sasaran atau eksekutor. Nenek, ayah saya, dan saudara-saudara perempuannya menangis dan berdoa menanti kabar. Nasib kakek saya yang akhirnya selamat dari tragedi 1965-1966 itu (justru menjadi catatan tiap doa-doa saya) agar beliau dan orang-orang senasibnya diampuni dosa-dosanya.

Namun sejarah tidaklah sehitam-putih yang kita bayangkan. Ayah saya dan orang-orang segenerasinya menyambut dengan tepuk tangan kepada 'Bapak Jenderal Murah Senyum' itu ke atas podium rezim yang baru. Ironis memang, hingga sekarang kelahiran rezim berlumur darah yang ditentang Widji ini, juga disyukuri oleh sebagian rakyat yang merasakan kebobrokan Demokrasi Terpimpin. Perlahan bulgur dan telo yang menjadi makanan alternatif itu berubah menjadi nasi yang bergizi. Tapi perlahan kepahlawanan para penerus Jenderal Sudirman itu pun, menjadi tirani.

Generasi Widji dalam Proses
Bukan hanya hal yang ironi. Dalam sejarah, kenyataan paradoksal pun tak dapat dihindari layaknya lakon yang telah ditentukan. Munir Said Thalib misalnya. Figur sekaliber dengan Widji yang senasib dan seperjuangan ini mempunyai fase yang jauh dari perkiraan. Di masa mudanya, Munir aktif dalam organisasi yang turut mendirikan Orde Baru, yaitu HMI. Beliau juga mendukung rezim yang akhirnya ditentang oleh diriya sendiri. Ia bermanuver menyerang balik penguasa karena ia sadar akan tanggung jawabnya sebagai akademisi hukum, yang selayaknya menjunjung tinggi keadilan.

Namun yang menarik bukan hanya landasan sikap politiknya saja. Bagaimana ia menyikapi keadilan pun juga patut kita jadikan pelajaran. Munir sempat marah dan mengejar gurunya dengan mengacungkan pensil, karena diejek dengan sebutan 'Arab'. Baginya tak ada toleransi bagi diskriminasi berbentuk apa pun. Hal ini juga tercermin pada Peristiwa 98. Ia mencengangkan publik setelah turun gunung membela Jenderal yang dikambinghitamkan. Sikapnya dipolitisasi sebagian masyarakat (seolah ia membela) karena si Jenderal tidak bersalah. Padahal ia bersikap begitu, karena masih banyak penjahat-penjahat berbintang yang bersembunyi di balik ketek kekuasaan. 

Jika Munir mempunyai catatan sejarah yang bersifat paradoks, Widji justru punya catatan yang lazim, tapi sangat jarang untuk kita pahami. Dalam urusannya sebagai penyair, misalnya. Jangan dikira karya-karya yang ia hasilkan itu, turun dari langit dengan disembur ubun-ubunnya oleh Malaikat Jibril. Dalam proses kreatifnya, selain mendirikan Jaker (Jaringan Kebudayaan Rakyat), ia juga aktif dalam pergaulan dengan sesama seniman. Om Budi dari Bengkel Teater pernah bercerita kepada saya, bahwa Widji pernah aktif dan belajar bersama afiliasi dan kerabat WS Rendra. Berbeda dengan Lekra yang terkungkung di bawah hegemoni partai dan penuh pemujaan dalam karya-karyanya, Widji yang juga pionir Jaker ini, sadar betul akan sikap ‘Seni untuk Seni’. Ia berbicara rakyat, tapi tak menihilkan esetetika seni itu sendiri, seperti yang saya ulas di paragraf pertama. 

Sebagai Aktivis, Widji juga ikut turun dalam berbagai aksi massa. Pada tahun 1995, sebelah matanya nyaris buta karena dibenturkan kepalanya oleh aparat ke badan mobil. Jangan harap keberanian ini muncul pada generasi sekarang. Karena filosofi Yesus atau Gandhi perihal ditampar pipi kiri minta pipi kanan itu sudah tidak relevan. Karena HAM dan Demokrasi masih perlu dicatut-catut dengan rengekan. Tapi yang menarik bukanlah keberanian itu sebenarnya. Sebagai Aktivis, Widji tidak pernah menganggap semua orang-orang apatis itu bodoh. Ia memahami nasib orang-orang seperti ibu saya yang tidak paham apa itu politik.

Berbeda dengan Widji yang mau turun ke jalan, Ibu saya lebih memilih membesarkan saya dengan tekad menjadi pengusaha, sejak zaman sebelum mini market masuk desa dan menginjak-injak leher pengusaha kecil. Tapi sebelum berdikari, Ibu saya sempat bekerja dengan orang Jepang. Bayangkan, benar-benar warga negara Jepang, bukan keturunan Jepang! Widji justru menampar keras orang-orang intelektual, bukan orang-orang yang tidak makan bangku sekolah seperti Ibu saya. Dalam sajak ‘Apa Guna’, misalnya.

Apa gunanya punya ilmu tinggi
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa gunanya banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu 

Inilah hebatnya Widji Thukul. Tidak seperti aktivis kemarin sore yang congkak memberi label “Apatis” ke setiap jidat orang-orang yang tidak mengerti politik.

www.dw.com
www.dw.com
Tugas Generasi Selanjutnya
Sejarah itu –dalam ungkapan Jawa– ibarat sri gunung, dari jauh nampak indah kebiruan, tapi bila didekati ternyata ada banyak jurang, binatang buas, dan mambang (makhluk halus). Begitulah kiranya yang dituliskan oleh Dr. Kuntowijoyo dalam kata pengantar kumpulan puisi Taufiq Ismail, berjudul ‘Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia’. Oleh karena itu, setiap peristiwa ataupun perjuangan haruslah dinilai secara komprehensif. Jika tidak, sejarah akan menjadi ayat-ayat suci yang dikutip seenaknya oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab demi menghalalkan segala tujuannya.

Kita tak bisa membabi buta mengambinghitamkan dosa-dosa kesenjangan kapitalisme sekarang ini kepada seluruh Angkatan 66, karena perlu dilihat juga represivitas kekuasan sebelum 1 Oktober, sebelum orang-orang kiri itu dijadikan ayam sayur. Sikap objektif ini menjadi penting untuk menentukan mana kawan dan mana lawan ke depannya. Agar suatu perjuangan itu tidak ditunggangi kepentingan golongan ataupun ideologi tertentu. Karena sejatinya golongan dan ideologi itu hanyalah kendaraan. Tentu menjadi beban jika kita ditunggangi kendaraan kita sendiri. 

Saya namakan bagian esai ini sebagai ‘Tugas Generasi Selanjutnya’, bukan ‘Tantangan Generasi Selanjutnya’, karena menjalankan tugas itu pada dasarnya lebih menjadi beban dibanding mencoba tantangan. Di era demokrasi ini, hak jauh lebih menarik dibanding kewajiban. Kita begitu marah melihat pelajar dicubit pengajar, tapi kita mendiamkan dosen-dosen atau guru-guru –yang dipukuli murid atau mahasiswa– sepulang mengajar, karena kita berstatus sebagai pelajar, yang butuh hak. Kita begitu nafsu berteriak “All Cops Are Bastards!” ketika melihat kesewenangan oknum aparat, tapi kalau ada teman yang bertugas di Sabhara, bolehlah dijadikan bekingan saat sedang terdesak, karena itu hak kita sebagai temannya. Realitas seperti ini memang sangat lucu dan memalukan. Kita masih bisa menikmati kelucuan ini sebelum semua berubah menjadi tragedi yang memilukan.

Hampir dua dekade Widji tak kunjung pulang, dan 53 tahun sudah usianya kini. Reformasi dikutuk, padahal Orde Baru tidak benar-benar tumbang sejak awal. Demokrasi dijadikan tirani oleh kebebasan yang kebablasan. Derasnya semangat intelektual mengangkangi kepekaan emosional dan spiritual. Masyarakat kita kini pintar, tapi mati rasa. Seluruh hal yang berlawanan dijadikan musuh, padahal untuk menang kita perlu merangkul lawan, untuk ditusuk dari belakang atau dijadikan bawahan.

Seperti Widji Thukul yang dengan lantang berteriak “Lawan!”, bukan “Musuhi!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun