Mohon tunggu...
Riyadijoko Prastiyo
Riyadijoko Prastiyo Mohon Tunggu... Penulis lepas -

Pemuda, Pembaca, Penulis, Pengamat Sejarah dan Penikmat Sastra. www.theriyadijoko.info theriyadijoko@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Generasi Widji dan Sesudahnya

27 Agustus 2016   09:13 Diperbarui: 7 September 2016   15:27 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Widji Thukul membacakan puisi di depan anak-anak di perkampungan, medio 1990an. | sumber: http://blogmasjok.wordpress.com

Kita tak bisa membabi buta mengambinghitamkan dosa-dosa kesenjangan kapitalisme sekarang ini kepada seluruh Angkatan 66, karena perlu dilihat juga represivitas kekuasan sebelum 1 Oktober, sebelum orang-orang kiri itu dijadikan ayam sayur. Sikap objektif ini menjadi penting untuk menentukan mana kawan dan mana lawan ke depannya. Agar suatu perjuangan itu tidak ditunggangi kepentingan golongan ataupun ideologi tertentu. Karena sejatinya golongan dan ideologi itu hanyalah kendaraan. Tentu menjadi beban jika kita ditunggangi kendaraan kita sendiri. 

Saya namakan bagian esai ini sebagai ‘Tugas Generasi Selanjutnya’, bukan ‘Tantangan Generasi Selanjutnya’, karena menjalankan tugas itu pada dasarnya lebih menjadi beban dibanding mencoba tantangan. Di era demokrasi ini, hak jauh lebih menarik dibanding kewajiban. Kita begitu marah melihat pelajar dicubit pengajar, tapi kita mendiamkan dosen-dosen atau guru-guru –yang dipukuli murid atau mahasiswa– sepulang mengajar, karena kita berstatus sebagai pelajar, yang butuh hak. Kita begitu nafsu berteriak “All Cops Are Bastards!” ketika melihat kesewenangan oknum aparat, tapi kalau ada teman yang bertugas di Sabhara, bolehlah dijadikan bekingan saat sedang terdesak, karena itu hak kita sebagai temannya. Realitas seperti ini memang sangat lucu dan memalukan. Kita masih bisa menikmati kelucuan ini sebelum semua berubah menjadi tragedi yang memilukan.

Hampir dua dekade Widji tak kunjung pulang, dan 53 tahun sudah usianya kini. Reformasi dikutuk, padahal Orde Baru tidak benar-benar tumbang sejak awal. Demokrasi dijadikan tirani oleh kebebasan yang kebablasan. Derasnya semangat intelektual mengangkangi kepekaan emosional dan spiritual. Masyarakat kita kini pintar, tapi mati rasa. Seluruh hal yang berlawanan dijadikan musuh, padahal untuk menang kita perlu merangkul lawan, untuk ditusuk dari belakang atau dijadikan bawahan.

Seperti Widji Thukul yang dengan lantang berteriak “Lawan!”, bukan “Musuhi!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun