Mohon tunggu...
Riyadijoko Prastiyo
Riyadijoko Prastiyo Mohon Tunggu... Penulis lepas -

Pemuda, Pembaca, Penulis, Pengamat Sejarah dan Penikmat Sastra. www.theriyadijoko.info theriyadijoko@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Anak, Harimu Kini

24 Juli 2016   16:17 Diperbarui: 24 Juli 2016   17:19 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dono dan Anaknya, 1980an | source: kapanlagi.com
Dono dan Anaknya, 1980an | source: kapanlagi.com
23 Juli, tiga puluh dua tahun yang lalu ditetapkan sebagai Hari Anak melalui Keputusan Presiden no.44. Keputusan ini, banyak-sedikitnya dipengaruhi gagasan-gagasan visioner Nugroho Notosusanto dalam bidang Pendidikan, sebagai Mendikbud pada masanya. Terlepas dari kontroversinya dalam keterlibatannya pada historiografi sejarah nasional, yang berpusat pada perspektif ABRI, bahkan cenderung desukarnoisasi.

Ketika diangkat sebagai Rektor UI, beliau dihujani caci dan makian, karena dianggap sebagai gambaran “Militer masuk kampus”. Bukan karena hanya basicnya sebagai Jenderal militer, tapi memang situasi yang panas memungkinkan hal itu.

Dua belas tahun sesudah Tritura 66, mahasiswa dipaksa manut oleh aturan pemerintah melalui tangan-tangan aparat dengan sistem NKK/BKK. Setelah sebelumnya banyak peristiwa besar yang membuat Mahasiswa dan Militer berseberangan dan berbanding terbalik dengan Angkatan 66, yang dimulai oleh Angkatan 74. Inilah konsekuensi dari rezim yang takut akan demokrasi.

Penderitaan, pada dasarnya dapat membentuk karakter. Represifitas dari 1974-1998 tersebut adalah bukti bagaimana karakter pemuda itu dibentuk sebagai anak muda yang tangguh. Sementara, adik-adik mereka yang masih kecil dininabobokan dengan doktrin yang menguntungkan si penindas. Sebagian dari mereka masih berjuang untuk membangunkan penerusnya dari ketertiduran, sebagian lagi masih menikmati, bahkan ikut tertidur.

Perjuangan anak menuntut kebebasan tak akan pernah berhenti sedari Koes Bersaudara bernyanyi “ngak-ngik-ngok” sampai mahasiswa (masih) digetok swakarsa di zaman Habibie, hingga nyala api dari jasad Sondang Hutagalung di sore hari.

Kebebasan itu indah untuk diperjuangkan, tapi akan terasa norak dan menyebalkan jika berlebihan. Seperti yang kita rasakan sekarang, bagaimana noraknya anak-anak bernyanyi dengan lirik binal, sampai berciuman yang mereka rasa perlu disebar di sosial media. Atau perkataan yang menyinggung dan membuat orang sakit hati, dengan begitu mudahnya dipledoi dengan kata “Baper”.

Memang, kenakalan remaja pada dasarnya adalah hak. Karena dari kesalahan itulah ia akan mengerti nilai tanggungjawab, ketika ia memahaminya. Sama seperti saya dan kawan-kawan yang dulu belajar merokok bersama. Dulu, saya adalah anak yang paling getol bawa rokok merek aneh, tapi saya juga yang paling pertama berhenti di lingkungan saya. Dua tahun berhenti bukan hal yang biasa bagi perokok. Tanggungjawab memutar uang untuk hal yang lebih bermanfaat adalah motivasi saya untuk berhenti.

Perubahan saya dihargai, karena saya menghargai mereka yang belum berubah. Saya tak mau memaksakan mereka untuk berubah. Karena hipokrit adalah penyakit yang sering menghantui mereka yang merasa benar.

Perubahan itu diraih tidak semudah membalik telapak tangan. Perlu tamparan keras dari peristiwa yang membuat ia sadar dan merenungi kesalahannya.

Tapi apalah arti tamparan keras, jika dicubit saja lapor Polisi. Itulah mungkin kenapa Ali Sadikin marah saat mendengar kabar anak-anak dari anggota aparat yang bengal di sekolah, dan bapaknya jadi beking. Beliau balik menantang, dan berkata punya tiga puluh ribu pucuk senjata. Itulah pemimpin dengan jiwa kepemimpinan yang melawan kenakalan. Berbeda jauh dengan Ibu Tien yang memanfaatkan kenakalan anak-anak Berlan untuk memukul para demonstran.

Memang, kekerasan pada anak adalah hal yang perlu dilawan. Tapi, kekerasan dan kekejaman adalah hal yang cukup berbeda. Itu sebabnya Munir marah, mengacungkan pensil dan mengejar gurunya yang mengatai dia dengan sebutan “Arab”. Rasisme adalah kekejaman, sedangkan acungan pensil tersebut adalah tindakan keras, bahkan visualisasi kekerasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun