Mohon tunggu...
Riyadijoko Prastiyo
Riyadijoko Prastiyo Mohon Tunggu... Penulis lepas -

Pemuda, Pembaca, Penulis, Pengamat Sejarah dan Penikmat Sastra. www.theriyadijoko.info theriyadijoko@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Para Pencari Tuhan adalah Kita

27 Juni 2016   18:31 Diperbarui: 27 Juni 2016   21:18 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah Bang Jack, seorang merbot di surau At-Taubah, dan tiga orang muridnya di Kampung Kincir itu, telah menemani saya dan keluarga selama satu dekade ini. Untuk karya ini, Deddy Mizwar patut diacungi dua jempol. Ia menyelamatkan kita (saya, keluarga dan kalian) dari orang-orang tolol (Pelawak-Pelawak yang tak mengerti estetika humor) yang dibayar mahal untuk tampil di acara televisi, di saat sahur. Di bulan Ramadhan pun, sebagian dari mereka itu tidak berpuasa untuk membodohi penontonnya.

Banyak-sedikitnya, sinema ini membentuk persepsi saya perihal spiritual. Sebagaimana teori psikologi, bahwa persepsi dan kepribadian dibentuk sejak dini. Oleh karena itu, setiap figur besar dan berpengaruh, akan selalu membuat kita penasaran – seperti apa masa kecilnya dan bagaimana masa lalunya. Dan bagaimanapun masa depan itu, adalah apa yang kita lakukan hari ini. Itu yang dikatakan Gandhi.

Kisah Baha yang diperankan oleh Tora Sudiro hampir satu dekade yang lalu itu, membekas dalam persepsi saya. Baha, seorang pemabuk dan bertato, sekaligus sahabat kecil Asrul. Baha yang memilih bergabung dengan tiga orang murid Bang Jack itu, akhirnya pergi selamanya dalam pertentangan batinnya melawan masa lalunya yang kelam. Ia adalah sosok jenaka yang dermawan. Kedermawanannya tersebut ialah menaikkan haji sahabatnya, Asrul, yang belakangan diketahui setelah ia dipanggil ke hadirat-NYA. Pergolakan batin seorang Baha adalah refleksi terhadap realitas di masyarakat yang ada. Seseorang yang berada dalam masa kelam, jika sudah bersungguh-sungguh untuk membuka hati nuraninya, akan jauh lebih kompleks nilai spritualitasnya daripada seorang yang suci, yang pandai menghardik. Sepertinya Deddy Mizwar tidak tertarik terhadap lakon penghardik seperti itu. Sama seperti halnya saya yang selalu heran dan cenderung muak terhadap jagoan-jagoan sweeping di bulan Ramadhan.

Seseorang dengan masa lalunya yang kelam, akan jauh lebih yakin dalam proses perubahannya menuju akhir dari lorong yang gelap. Kegetirannya dalam masa kelam itu, akan memicunya untuk semakin dekat kepada cahaya di luar sana. Itu mungkin sebabnya, anak yang paling badung di sekolahan (tempat belajar dimanapun) – rata-rata lebih maju, dari yang sekadar manut. Mereka berkutat dalam kesilapan dan kebenaran di dalam batinnya, bukan sekadar berpacu kepada norma tekstual belaka. Hal ini digambarkan dalam peran tiga murid Bang Jack, dan juga dua bersahabat Asrul dan Udin. 

Mereka sering mengalami jatuh-bangun dalam prosesnya mencari Tuhan. Perbedaan pandang dengan Bang Jack sebagai guru, maupun di antara mereka masing-masing sebagai sahabat, justru seringkali membuat mereka lebih memahami persoalan yang ada. Saya masih ingat bagaimana Juki sangat terpukul saat Ibunya meninggalkan ia untuk selamanya. Ia mengutuk dirinya sendiri, yang tak sempat membahagiakan sang Ibu, dan tertekan batinnya memiliki ayah dengan sikap yang tidak diharapkannya. Namun ia tak pernah benar-benar meninggalkan-NYA, sebagaimana kesetiaan para sahabatnya. Sikap Juki tidak turun dari langit begitu saja. Ia berproses dengan ujian-ujian dan kesadaran, serta bimbingan dari Bang Jack sebagai guru.

Layaknya sebuah film yang berkualitas, dalam penokohan dan alur cerita, seringkali terdapat kisah-kisah ironi dan tokoh-tokoh dengan sifatnya yang paradoks. Misalnya kisah tentang seorang suami tanpa anak, bernama Pak Jalal, yang diperankan Jarwo Kuat. Sosoknya bagaikan Godfather dalam komedi. Kecongkakannya justru sering membuat kita tertawa. Kesombongan Pak Jalal yang kadang menyebalkan, tetap memberi penyadaran tentang betapa indahnya berbagi. Dan kesombongan, sebagaimana realitasnya, akan cepat membuat seseorang terjatuh. Pak Jalal pernah jatuh dalam kemiskinan dan tinggal di gubuk, di tengah “hutan”. Namun bangkit lagi dengan kegigihan dan sedikit kesombongannya pula. 

Kita tak bisa menafikan sifat-sifat seperti beliau di tengah masyarakat. Tidak ketinggalan juga sedikit refleksi tentang kehidupan politik di masyarakat, khsusunya daerah, jika berat hati untuk menyebutnya kelas bawah. Tiga serangkai perangkat desa digambarkan sebagai tokoh antagonis, namun jenaka. Pak RW dan dua anak buahnya yang suka cari kesempatan dalam kesempitan, yang seringkali berakhir gagal, layaknya Samson–Pam-Pam. Mungkin terlalu klise gambaran perihal kejahatan dan kebenaran macam itu. Namun kenyataannya, hidup tak bisa lepas dari pergumulan tersebut. Bahkan yang terbaik pun belum tentu menang di dalam kenyataan. Ironi dan Paradoksal adalah skenario paling menarik yang diciptakan Tuhan.

Kisah cinta dalam sinema ini digambarkan tidak seperti drama romansa pada umumnya. Banyak sekali dialektika filosofis dan pesan perihal kebesaran hati. Misalnya saja kisah Aya dan Azam yang diperankan Zaskia Mecca dan Agus Kuncoro. Aya dan Azam seringkali berselisih seputar pandangan cinta hingga Agama. Azam tiga kali ditolak lamarannya oleh Aya, ia tak gentar hingga takdir menyatukannya. Di sisi lain, Azam memiliki cinta lain, Kalila, yang tak bisa ia terima. Banyak sekali dialog penuh kiasan majas nan puitis antara cinta segitiga mereka. 

Kebesaran hati Kalila yang mengalah, Aya yang jumawa, dan Azam yang bijak, sangat inspiratif. Sebagaimana Bang Jack yang juga mengalah karena Widya, Ibunda Azam, lebih memilih seorang konglomerat bernama Wijoyo yang diperankan Slamet Rahardjo. Kebesaran hati adalah hal yang sering dilupakan oleh mereka yang patah hati. Ditambah lagi dengan terminologi “Baper” hari ini. Jangan heran kalu generasi sekarang dan mendatang adalah sekumpulan manusia mati rasa.

Andai saja serial Ramadhan berkualitas ini diberi judul “Para Pencari Surga”, pasti pesan dalam tiap kisah tidaklah menarik. Karena Surga maupun Pahala, barulah sekadar kuantitas dari nilai-nilai spiritual. Tuhan adalah esensi dari spiritualitas itu sendiri. Spritualitas adalah bagian dari sprit, semangat hidup seseorang. Tiada berpengaruh semangat hidup seseorang, bagi mereka yang peragu. Sesungguhnya para filsuf yang meragukan keberadaan-NYA itu, ialah mereka yang paling merindukan-NYA. Kalau mereka yakin bahwa IA tidak ada, untuk apa masih dicari keberadaan-NYA?

Mencari Tuhan adalah proses – yang setapak lebih tinggi – dari mencari Pahala dan Surga. Rasa takut di dalam jiwa, sesungguhnya bukanlah perkara takut akan dosa dan neraka belaka. Rasa takut, akan selalu ada selama manusia itu hidup dan memiliki rasa. Seorang Nietzsche pasti menangis jika kehilangan orang yang ia cintai. Ia pun akan refleks, minimal terkejut, jika wajahnya diserang oleh IP Man dengan jurus-jurus andalannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun