Mohon tunggu...
Riyadijoko Prastiyo
Riyadijoko Prastiyo Mohon Tunggu... Penulis lepas -

Pemuda, Pembaca, Penulis, Pengamat Sejarah dan Penikmat Sastra. www.theriyadijoko.info theriyadijoko@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Untuk Pelaku Transportasi Online: Kesenjangan dari Pandangan Saya

23 Maret 2016   17:57 Diperbarui: 24 Maret 2016   03:15 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang Direktur, yang dulu, sewaktu kecilnya sering dimarahi ayah saya ini,  merupakan figur yang luar biasa. Bukan biasa di luar. Direktur. Ya, “D” nya Kapital, sekapital perusahaannya. Tapi jiwa kesehariannya, sangat sosialis. Koleksi mobil favoritnya, dari Mercedes hingga Ford, hanya jadi pajangan di hari kerja. Tiap hari pulang-pergi kantor, beliau selalu naik angkot. Di dalam angkot, dasi yang ia pakai selalu dilipat dalam saku. Mungkin bijak baginya, tak cukup sekadar kutipan-kutipan di balik topeng. Mengagumkan memang.

Beberapa paragraf ini, sepertinya belum cukup menggambarkan betapa menyebalkannya kesenjangan di masyarakat. Beberapa paragraf ini pun terjadi sejak dari sebelum munculnya transportasi online. Saya pun, termasuk orang yang belum mencoba transportasi tersebut. Selain karena kuota dan memori handphone tidak memadai, juga karena kurang respectnya saya kepada pelakunya; Driver yang seharusnya “Rider”. Berdalih dilatih, di jalanan tetap saja terobos lampu merah dan sikat trotoar sana-sini.

Modernisasi teknologi merupakan suatu kebutuhan. Kebutuhan yang dirasa perlu, jika memang perlu. Berbicara modernisasi di tengah suatu suku seperti Baduy Dalam, misalnya, merupakan hal yang tidak menghormati keputusan mereka. Begitu juga di tengah kota. Di tengah digitalisasi saja, masih banyak kolektor rilisian musik, termasuk saya, yang masih mengoleksi kaset pita hingga piringan hitam. Masih banyak yang meninkmati estetika kamera roll film alias tustel di tengah canggihnya SLR hingga Go-pro. Dalam bidang kebudayaan, pilihan semacam back to the roots ini adalah hak, yang terkadang, melahirkan kearifan lokal yang estetis. Bagi saya, kesenjangan ini, bukanlah Polemik Ekonomi belaka, tapi juga Polemik Kebudayaan.

Prahara budaya, seperti yang kita tahu, sungguh sangat mengerikan jika dipaksakan. Seperti revolusi budaya Mao Zedong ataupun hancurnya Lekra dan sekutunya di masa silam.

Mereka yang bijak menghadapi, adalah mereka yang selamat di kemudian hari. 

Sumber gambar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun