“Tan Malaka terlalu Radikal” ucap Jenderal dalam Film Biografinya.
Saya sangat antusias saat pertama kali mendengar kabar bahwa sosok Panglima TNI – yang paling anti-berpolitik dan paling saya kagumi – akan dibuatkan film biografinya. Namun, karena kesibukan di tahun lalu, saya akhirnya melewatkan pemutarannya di bioskop. Dengan sedikit kekecewaan – selain karena tidak sempat merasakan atmosfer penayangannya di layar lebar, ada beberapa hal (kekecewaan) lainnya – yang akhirnya membuat saya memutuskan untuk membuat resensi ini; setelah saya menyaksikannya di stasiun televisi.
Pada awal bagian film dikisahkan mengenai Peristiwa 3 Juli 1946, dimana terjadi suatu upaya penculikan terhadap Perdana Menteri Sutan Syahrir. Awalnya saya cukup puas karena film tersebut – yang notabene diintervensi oleh pihak Angkatan Darat – mau (jika bisa dikatan: Berani) membuka sejarah kelam institusi Angkatan Darat. Namun semua ekspektasi saya sedikit menurun, ketika Sang Jenderal berucap “Tan Malaka terlalu Radikal” dalam suatu scene ketika mendekati proses Pengadilan Militernya. Tak ada sedikitpun keakraban antara Tan dan Soedirman yang diperlihatkan, pun begitu ketika Sudirman memahami taktik politik berdiplomasi Syahrir, tak juga diperlihatkan kemanunggalan Militer dan Pejuang (Politisi) Sipil. Hingga bagian akhir – yang diperlihatkan – hanya Militer yang diwakili Sudirman mendukung sepenuhnya Pemerintahan, tapi sinergi yang terlihat justru memiliki jurang pemisah – yang terkesan bahwa Militer dan Sipil berjuang secara eksklusif.
Hitam-Hitam dan Musuh Negara
Pada pertengahan scene, dikisahkan Kapten Nolly alias Kapten Tjokropranolo (Ibnu Jamil) bersama anak buahnya bertemu pasukan tidak dikenal mengenakan pita merah di lengannya layaknya pasukan Pol Pot yang sedang melakukan pembersihan. Pasukan tidak dikenal tersebut merampas dagangan para pedagang kaki lima dan juga warung-warung di sekitar. Awalnya saya mengira pasukan tersebut adalah Pasukan Musso dan sedang menceritakan Pemberontakan Madiun ‘48. Namun ternyata, dikisahkan bahwa pasukan tersebut diduga merupakan sisa-sisa Pasukan Musso – yang berada atau pergi – ke Kediri dan bergabung dengan kelompok Tan Malaka.
Kapten Nolly dan seorang anak buahnya tersebut mengikuti dimana pusat pasukan tersebut, lalu diperlihatkan mereka menemukan Tan Malaka sedang berorasi dengan menggunakan Pakaian Hitam-Hitam, bendera Palu Arit hitam-putih sebagai latar, serta seruan Tan Malaka yang seolah haus kekuasaan. Mengenai atribut hitam-hitam tersebut, saya jadi teringat tentang kisah Arian Tigabelas (Vokalis Seringai) dalam wawancaranya di dalam film dokumenter Global Metal. Ia bercerita tentang pengalamannya sewaktu Konser Metallica di Jakarta tahun 1993. Pada malam kerusuhan konser tersebut, ia menceritakan pengalaman pahitnya ketika diusir aparat Kepolisian saat ia memaksa masuk karena sudah memiliki tiket. Seorang Polisi tersebut lalu mengusirnya dan menghardik dengan seruan “Dasar Hitam-Hitam seperti Komunis! Pergi kalian semua!!” jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, kurang lebihnya. Scene tersebut sesungguhnya merupakan pendiskreditan terselubung yang amat disayangkan terhadap Tan Malaka.
Di akhir kisah “Petualangan Tan Malaka” tersebut, dikisahkan mengenai eksekusi terhadap Tan Malaka yang dianggap “memberontak”. Tidak diperlihatkan peran Mayor Sabarudin yang sangat “Badung” dan mempengaruhi pergerakan Tan Malaka di Kediri. Semua seolah Tan Malaka lah biang keladinya dan harus dimusnahkan. Tak ada reaksi yang masuk akal dari sang Jenderal saat sahabatnya – yang di dalam film tersebut dianggap radikal – ketika akan dieksekusi. Ia hanya menunduk dan memejamkan mata. Sungguh biografi yang subjektif dan ambigu.
Di dalam peran TNI pun masih ada kberpihakan yang sifatnya politis di dalam film tersebut. Peran Letkol Soeadi, yang memiliki sorot mata bagai elang tersebut juga disingkirkan. Mungkin karena masa lalunya yang pernah condong dengan pihak FDR-Musso. Amat sangat disayangkan, hanya karena pilihan politiknya seorang tokoh harus dikesampingkan.
Seperti yang saya sebut di awal, peran Militer dalam film ini terasa sangat eksklusif. Peran pasukan sukarelawan sipil – yang menurut ayah saya – bahwa dulu kakek saya di Wonogiri berama-ramai bersama Pemuda lainnya ikut mengawal Pasukan Soedirman. Dari - daerah ke daerah - beliau bergerilya - selalu ada banyak sekali pihak sipil yang terlibat bahkan baku tembak. Namun yang diperlihatkan di film ini, terasa sangat eksklusif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H