Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

Sudah loyo

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Peng-Gus Dur-an" Megawati

18 Mei 2014   20:38 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:24 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menguatnya wacana Puan Maharani sebagai cawapres mendampingi Jokowi semestinya tidak dapat dibaca di ruang hampa. Wacana itu menemukan konteksnya, setidaknya setelah pidato Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Penegasan Megawati atas posisi Joko Widodo sebagai petugas partai serta sinyalemen tentang adanya kelompok yang ingin menelikung di tikungan saat Pilpres seolah menjadi petunjuk mengapa nama Puan Maharani kembali mecuat, setelah sebelumnya sempat meredup.

Jokowi, dalam suatu kesempatan dihadapan "sahabat Jokowi " begitulah kelompok Projo menyebut dirinya  menyatakan telah memiliki cawapres bernisial J atau A.   Publikpun Media langsung memberitakan  yang mengarah kepada Jusuf Kalla  atau Abraham Samad.  Manuver manuver politikpun dilakukan oleh Jokowi  memancing Golkar merangsek ke PDIP, Golkar seakan terbelah-belah bagai anak ayam kehilangan induknya.

Golkar yang dikenal sebagai partai spesialis dua kaki, yang penting tetap menjadi partai pemerintah ini bukan tanpa sebab mencoba berkoalisi dengan PDIP. Masih segar dalam ingatan kita, tahun 2004, Jusuf Kalla  mendompleng  SBY menjadikan Golkar  menjadi partai pemerintah padahal dalam pilpres yang sama Golkar bertarung dalam pilpres mengusung Wiranto.

Pilpres tahun 2009,  SBY berjalan sendiri dengan menggandeng Boediono,  secara diam-diam JK melaporkan masalah Bailout Bank Century ke Kapolri.  Walaupun Golkar  tetap berkoalisi dengan Demokrat, namun sejatinya Golkar bersikap oposisi terhadap SBY.

Wacana menjadikan Puan Maharani sebagai cawapres Jokowi bukanlah ide yang populis. Pagi-pagi penolakan atas figur Puan mengemuka di publik. Baik dari kader internal terlebih pendukung relawan Jokowi. Mereka menolak Puan Maharani. Meski, tidak populis bukan berarti tidak prospektif. Sebut saja, bekas karib Jokowi di Solo, yang kini menjadi Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo terang-terangan menolak figur Puan Maharani. Ia menyesalkan pembisik Megawati Soekarnoputri yang mengusulkan Puan Maharani.

Penolakan terhadap trah Soekarno ini tentu saja menjadi pemikiran Megawati, partai yang dibesarkannya  bukan tidak mungkin dapat lepas ketangan pihak lain oleh adanya permainan dibalik layar. Golkar terus merangsek mengambil kesempatan itu untuk ikut menancapkan kuku pengaruh politiknya diiringi tekanan kelompok Projo yang menolak trah Soekarno.

Publikpun mulai bertanya dan mengembangkan isu rasial terhadap Jokowi terlebih setelah Jokowi mempublikasikan tulisan revolusi mentalnya yang mirip dengan tulisan Romo Beny. aktivis dan anggota wali gereja Indonesia.  Walaupun PDIP berkoalisi dengan PKB untuk menepis isu rasial tersebut, bukan berarti publik percaya begitu saja.  Tak kurang ketua PBNU angkat bicara tidak mendukung Jokowi diikuti spanduk penolakan Jokowi dibeberapa daerah yang menyatakan diri warga NU.

Inisial J dan A tentu telah menjadi pemahaman publik yang dimaksud merupakan bekas Wapres Jusuf Kalla dan Ketua KPK Abraham Samad. Dua nama ini memang tak dimungkiri telah lama dipergunjingkan sebagai kandidat terkuat untuk mendampingi Jokowi.

Pertanyaannya apa benar cawapres Jokowi akan dipilih di antara Jusuf Kalla dan Abraham Samad? Belum ada yang bisa memastikan. Harap diingat, merujuk pernyataan Megawati Soekarnoputri, Jokowi hanyalah petugas partai. Pemilik mandat partai untuk menentukan capres/cawapres PDI Perjuangan tetap di tangan tunggal Megawati Soekarnopuutri.

Perlu dicatat pula, PDI Perjuangan bakal menggelar Kongres awal 2015 mendatang. Sekali lagi, bila skenario Jokowi berhasil memenangkan Pilpres 2014 mendatang, segala kemungkinan akan terjadi dalam Kongres PDI Perjuangan mendatang.

Tidaklah mustahil Jokowi atas nama desakan kader seluruh Indonesia bakal melenggang sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan menggantikan posisi Megawati Soekanroputri. Mungkin saat ini tidak terpikirkan oleh publik kemungkinan ini akan terjadi. Ingat, posisi Jokowi dalam Kongres mendatang, jika ia terpilih sebagai presiden RI, merupakan orang nomor satu di republik ini.

Jika situasi ini terjadi, tentu publik bakal menyaksikan trah Soekarno lambat tapi pasti akan terpinggirkan dari partai ini. Berbagai sejarah aktual dapat menjadi contoh yang baik. Bagaimana posisi Gus Dur yang begitu dominan di PKB namun saat ini tak menyisakan kader ideologis dan biologisnya di partai yang didirikannya itu.

Apakah  Megawati akan mengalami seperti nasib Gusdur ?.  Barangkali kita semua dapat mengambil  contoh dari sejarah itu, ambisi politik tanpa  etika hanya akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Begitu pula apa yang kita lihat saat ini  ditubuh PDIP, masuknya PKB dalam koalisi PDIP menjadi sebuah sinyal  upaya "menggusdurkan"  Megawati sedang terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun