Hari ini saya hanyut dalam pemikiran ini: musuh itu harusnya di musuhi, tapi kali ini musuh harus dikasihi. Memang dulu ada ajaran bahwa musuh harus dibenci, dicuekin, tidak dipedulikan. Tapi kali ini berbeda, musuh harus dikasihi. Orang-orang yang telah membuat hati ini terluka tetap harus dikasihi.Â
Permintaan ini boleh dibilang begitu. Atau ajaran ini juga boleh dibilang begitu, sangat berbeda, sangat bertolak belakang dari paham yang wajar dan lumrah selama ini.Â
Yang lumrah harusnya musuh itu dibenci, dijauhi dan ditinggal atau bahkan dimusuhi. Kali ini berbeda, saya diajak untuk menerima mereka yang dalam hatinya sangat tidak suka dengan kehadiran saya. Mengasihi mereka yang selama ini merancang hal-hal buruk untuk saya. Melakukan hal-hal yang merugikan bagi saya. Saya harus melakukan hal yang berbeda dari pandangan lumrahnya orang. Lumrahnya kalau dimusuhi ya dibalas dengan cara memusuhi. Lumrahnya jika kau jual maka aku beli. Tapi kali ini tidak, kali ini berbeda. Beda dengan pandangan pada umumnya.Â
Bahkan Ia meminta saya supaya saya juga berdoa bagi mereka yang sudah menganiaya baik dengan perbuatan atau pun dengan perkataan. Tentu berdoa hal-hal yang baik untuk mereka yang telah menganiaya.Â
Sang Sahabat berpesan, apa bedanya saya dengan pemungut cukai jika saya membenci musuh yang membenci saya. Karena orang yang jahat pun melakukan hal yang serupa. Mereka mengasihi orang-orang yang mengasihi mereka. Apa aku bedanya dengan mereka? Jika aku hanya mengasihi orang yang mengasihi saya itu artinya saya memusuhi orang yang memusuhi saya. Tak ada bedanya saya dengan yang lain. Tak ada nilai plusnya.Â
Ibaratnya pohon yang rindang, saat panas terik, tidak peduli siapa mereka dapat numpang berteduh menikmati semilir angin dikala panas terik di bawah rindangnya pohon itu. Orang jahat ataupun orang baik semua bisa boleh berteduh, istirahat, duduk leyeh lwyeh sambil mungkin bersenda gurau. Tidak harus orang baik yang boleh berteduh. Bahkan orang yang sedang berniat untuk menebang pohon itu pun juga tetap dapat berteduh.Â
Lalu apakah mudah mengasihi musuh musuh itu? Tidak. Benar benar sulit, tetapi bisa dilakukan oleh siapa saja yang mau. Kita dapat mengasihi musuh musuh asal saya mau. Saya tetap dapat memilih dengan bebas apakah saya memilih untuk mengasihi atau sebaliknya membenci musuh musuh saya. Pilihan bebas ada di tangan saya.Â
Dengan pertimbangan jika saya memilih untuk membenci musuh musuh saya, lalu apa bedanya aku dengan yang lain. Itu artinya sama saja. Padahal, saya itu unik, tidak ada duanya di dunia saat ini. Saya berbeda dengan orang pada umumnya. Saya sungguh hanya satu di dunia. Jika saya memilih hal yang sama dengan pilihan orang pada umumnya, jadi saya tidak ada lagi nilai plusnya.Â
Hendaknya kamu sempurna seperti bapa mu yang di surga sempurna adanya. Dengan memilih untuk mengasihi musuh musuh kita bisa menjadi sempurna. Sebaliknya jika saya tidak mau mengasihi musuh musuh, saya tidak akan pernah sempurna.Â
Untuk menjadi sempurna tinggal satu hal ini, saya harus bisa mengasihi dan menerima orang yang telah tidak mengasihi saya. Tidak ada upahnya jika saya hanya mengasihi orang-orang yang mengasihi saya. Tidak ada nilai plusnya. Tidak ada bedanya dengan orang lain, padahal kita ini unik, berbeda.Â
Tidak bisa serta merta sikap ini bisa, tapi karena dilatih hari demi hari kemampuan bisa mengasihi orang yang membenci adakah satu sikap yang sangat baik jika dipertahankan.Â
Berdoa bagi mereka yang memusuhi kita adalah hal yang tidak mudah. Bersikap lapang dada dan mau sabar terhadap perlakuan telah dimusuhi oleh orang lain.Â
Jangan sampai ketularan virus yang bisa membunuh. Ini virus yang akan menggagalkan kita meraih impian kita.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H