Mohon tunggu...
Joko Kristiono
Joko Kristiono Mohon Tunggu... Konsultan - Berkah Dalem

Putra Bangsa Kelahiran Semarang. Mencintai keheningan, berusaha terus menerus cinta damai terhadap setiap makluk.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Orang Miskin dan Lansia, Tidak Dilarang Sakit

18 Januari 2016   16:31 Diperbarui: 18 Januari 2016   16:31 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Opung, begitu ia sering disebut. Ia sudah delapan puluh lebih usianya. Badannya pendek sedikit agak gemuk. Rambutnya dipotong pendek. Semua mahkota yang menghiasi hidupnya selama ini sudah putih "ngemplak". jalannya  sudah terhuyung-huyung, tapi opung kerap tetap ndak mau diam.

Opung tinggal di salah satu kamar yang ada di Gedung Serba Guna Paroki Santo Petrus Lubuk Baja Batam. Sudah beberapa waktu opung mendapat tumpangan di kamar yang serba apa adanya itu. Bagaimana opung sampai di tempat ini, cukuplah kami yang tahu. 

Opung ini memiliki dua anak yang keduanya sudah mentas. Mereka masing-masing hidup dengan istri/suami serta anak-anaknya. Satu di luar kota Batam, yang lain di Baloi, Batam. 

Suatu sore, opung jalan-jalan ke tempat dimana kami tinggal. Dengan ciri khasnya yang ramah opung cerita, baru pulang dari hotel, menginap tiga hari, kata beliau. Pikirku hebat betul opung ini, sudah sepuh begitu masih mampu bayar biaya nginap di hotel, tiga hari pulak. Lalu opung melanjutkan ceritanya, dokter muda yang ganteng tadi ketawa kepingkal-pingkal, saat opung cerita. Baru saya ngeh, kalau yang dimaksud opung adalah baru pulang dari rawat inap di rumah sakit. 

Omong soal rawat inap, opung ini rupanya sudah berulang kali, keluar masuk rawat inap. Bahkan ndak tanggung tanggung lamanya, minimal tiga hari. Saya sempat kepikiran, dari mana uang opung ini ya? Karena rawat inap, atau menginap di hotel seperti yang dicandakan opung, tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan. 

Cerita punya cerita, si opung rupanya peserta BPJS kesehatan. Dengan bekal kartu sakit ini, rumah sakit di samping rumah sudah langsung melayani tanpa harus membawa rujukan karena mengerti siapa opung, lansia hidup sebatang kara, tanpa perawat, sanak dan saudara yang bisa membawanya ke klinik tingkat pratama. Tetapi kadang opung juga cerita kalau beliau baru pulang dari puskesmas.

Hidup opung yang ada di sekitar saya ini, menyampaikan pesan bahwa lansia dan orang miskin yang sudah pegang kartu sakti peserta BPJS atau kartu sakti sejenisnya, tidak perlu takut sakit. Jikalau sudah sekuat kemauan untuk menjaga, merawat tubuh yang dalam kodratnya memang lemah alias ringkih, tetap saja harus sakit, mereka tinggal pergi ke klinik pratama yang sudah dipilih saat mendaftar dan kalau memang di klinik tersebut tidak mampu, pasti dirujuk. 

Soal biaya, seperti yang sudah opung alami, dari segala kekurangan dan keterbatasan nya sebagai lansia dan orang miskin, tidak pernah saya lihat kawatir soal berapa biaya yang harus dibayar. Sakit tinggal jalan, kalau masih bisa, atau ngojek kalau sudah tidak sanggup, menuju puskesmas/klinik atau hotel yang dimaksud opung. Karena biaya yang muncul sudah diurus pihak rumah sakit dengan mengirim surat tagihan ke BPJS, sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. 

So ujaran, orang miskin dilarang sakit, sudah tidak jamannya lagi. Silahkan orang miskin sakit kalau mau, yang penting bijak dan eling, dengan mendaftar lebih dulu sebelum kejadian sakit, sebagai peserta BPJS kesehatan. Lalu kewajibannya sebagai peserta di penuhi dengan penuh rasa tanggung jawab. Baru kalau mau sakit silahkan, tidak dilarang. Kalau mau. Jadi bukan hanya orang kaya dan berduit saja yang boleh sakit, sekarang orang miskin dan lansia tidak dilarang sakit.

Semoga dengan telah dihapuskannya larangan bagi lansia dan orang miskin sakit, lansia dan orang miskin bijak. Jangan lalu mentang-mentang tidak ada larangan, hidupnya sembrono. Sudah tahu mengidap penyakit yang hanya bisa sembuh kalau mati, diabetes maksud saya, semua yang manis disikat saja seolah tidak pernah tahu kalau hal itu sangat beresiko. 

Bijak dalam menjaga pola makan, menjaga agar pikiran dan perasaan tetap tenang, tenteram dengan doa dan tawakal. Menjaga agar gaya hidup mengisyaratkan seakan akan hari ini adalah kesempatan terakhir saya untuk tobat. Maka dengan kesadaran itu, orang miskin, orang, kaya, semua hidup bijak, mencintai tubuhnya tanpa harus terikat padanya. 

Untuk mereka yang tidak peduli dengan seruan agar mendaftar sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan memenuhi kewajiban membayar iuran sebagai bentuk kepedulian dan rasa tanggung jawab terhadap sesama yang sedang mengalami sakit, ujaran orang miskin dilarang sakit tetap berlaku. Bagi mereka yang mendengar seruan itu lalu tobat dan minta dirinya didaftarkan, lalu melakukan yang menjadi konsekuensi dari tobat itu, mulai sekarang TIDAK PERLU TAKUT, dan TIDAK ADA LARANGAN SAKIT. Kami peduli, kami ikut merasakan derita kalian. Kami akan bantu. Mari kita sama sama wujudkan hidup yang sesuai dengan panggilan kita masing masing.  Tuhan, Budha, Allah dan yang Maha Kuasa memberkati kita sekalian. Pergilah kita diutus membawa kabar gembira kepada semua orang. Jangan takut, Tuhan menyertai. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun