Mohon tunggu...
Joko Hendarto
Joko Hendarto Mohon Tunggu... Dokter -

Orang Indonesia yang belajar lagi ke negeri orang...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Terima Kasih Pak Warsito

5 Desember 2015   12:27 Diperbarui: 5 Desember 2015   12:36 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dahulu kala dalam sejarah ilmu kedokteran ada pengobatan yang dilakukan dengan "menguras" darah pasien (Bloodletting). Tindakan itu didasari oleh pemikiran dari filosof dan ahli kedokteran Yunani, Galen, yang mengatakan bahwa penyakit disebabkan oleh ketidakseimbangan cairan tubuh, sehingga tindakan diatas perlu dilakukan. Dan ini dilakukan untuk seluruh penyakit. Teknik ini pernah dipraktekkan sangat luas dan panjang dalam dunia kedokteran di masa lampau walaupun resikonya sangat besar. Pada kasus yang ekstrem seperti yang dialami George Washington, presiden pertama Amerika, beliau meninggal karena darahnya dikuras hampir 3,75 liter hanya karena infeksi tenggorokan.

Tentu saja tak ada yang salah dengan tindakan diatas jika dilihat dengan pendekatan pemahaman ilmu kedokteran pada zaman itu, namun jadi keliru jika kita menggunakan pendekatan yang sama untuk pengobatan penyakit di zaman modern saat ini. Coba saja kalau anda flu terus dikuras darahnya beberapa liter.

Apa yang bisa kita pelajari dari hal diatas, pengobatan ilmu kedokteran berkembang sangat pesat melalui penelitian yang dilakukan dengan sangat ekstensif. Hal yang secara teoritis dianggap benar pada suatu zaman bisa jadi difalsifikasi oleh suatu temuan pada zaman berikutnya sehingga tidak relevan lagi dilakukan. Tindakan seperti Bloodletting diatas akhirnya sudah lama sekali ditinggalkan.

Selain itu, hal-hal yang berdasarkan pengalaman dianggap benar selama bertahun-tahun belum tentu juga tidak merugikan jika digunakan sebagai pengobatan pada manusia saat ini. Beberapa bulan yang lalu, saya ikut sebuah seminar bersama antara Kanazawa University dengan National University of Singapore, temanya tentang “Biology of tumor”. Saya tertarik dengan sebuah presentasi terkait satu senyawa dalam sebuah tanaman obat yang dianggap sebagai salah satu penyebab kanker ureter, "Aristhocolic acid".

Tanaman obat yang mengandung senyawa ini sering digunakan dalam obat tradisional China untuk menurunkan berat badan. Tanamannya mirip kantung semar. Nah, kasusnya pertama kali ditemukan di Belgia pada salah satu klinik kecantikan dimana selang beberapa saat, beberapa pasien mengeluhkan kencing darah setelah mengikuti program pengurusan berat badan dari tempat itu. Setelah dilakukan investigasi, ternyata mereka menemukan bahwa klinik tersebut menggunakan obat herbal dari tanaman yang mengandung senyawa diatas. Penelitian pada hewan coba pun menunjukkan bahwa senyawa tersebut benar bersifat karsinogenik, dapat menginduksi kanker dan saat ini sudah dilarang penggunaannya bahkan di China sekali pun.

Nah menyikapi keadaan seperti diatas dalam pro kontra salah alat di Indonesia yang katanya bisa membunuh seluruh jenis sel kanker dengan gelombang elektomagnetik lemah, nampaknya memang butuh kehati-hatian. Alat yang kemudian popular dengan sebutan jaket dan helm Warsito itu. Dan syukurlah Kemenkes menghentikan sementara pemakaian alat itu sebelum dibuktikan lebih lanjut bahwa ada manfaatnya secara ilmiah dan keselamatan pasien bisa dijaga.

Tapi, kan sudah banyak yang memberi testimoni bahwa beberapa orang bisa sembuh dengan alat tersebut, kenapa harus dibuat penelitian lagi dan tidak langsung dipakai. Testimoni berdasarkan pengalaman tentu saja bukan "evidence" ilmiah, karena ini bisa jadi sangat lemah jika diperhadapkan dengan testimoni dari pengalaman para dokter ahli tumor yang telah banyak menerima pasien kanker yang menggunakan terapi ini dan masuk ke dalam keadaan yang lebih berat hingga nyaris tak ada lagi yang bisa dilakukan. Bisa kita bayangkan jika sel-sel kankernya bermetastase kemana-mana, tindakan operasi maupun kemoterapi tak mungkin lagi dijalankan.

Saya sudah mengatakan sedari awal bahwa ide ilmuwan tersebut sangatlah baik, namun perlu ditelaah lebih lanjut dalam sebuah penelitian uji klinis yang sangat ketat. Ingat uji klinis!. Dan penelitian serupa ini dilakukan secara bertingkat, pada sel, pada binatang coba, pada sekelompok pasien secara terbatas dan seterusnya, tidak serta merta dilakukan pada manusia. Ya tentu saja penelitiannya akan butuh waktu yang agak lama, namun untuk ide sebaik ini saya kira layak dilakukan. Ada dua hal yang kita tunggu bersama, apakah terapi tersebut benar bisa membunuh sel-sel kanker dan bisa dibuktikan secara biomedis dan secara statitisk punya signifikansi dalam membunuh sel-sel kanker tersebut?. Kedua, apakah terapi tersebut aman dan tidak malah memperparah kondisi seorang pasien?

Dan saya harus mengucapkan terima kasih ke pak Warsito yang akhirnya mau mengikuti kebijakan kemenkes seperti yang saya baca dari sebuah berita. Harapan kita bersama jika penelitiannya bisa dijalankan sesuai dengan kaidah uji klinis yang baik, hasilnya bisa dipublikasi dan diuji oleh seluruh komunitas ilmuwan yang meneliti kanker di seluruh dunia, sungguh ini adalah terobosan luar biasa untuk kemanusiaan. Dengan itu pun, harusnya tak ada lagi aral jika memang terapi tersebut hendak dilakukan pada pasien di rumah sakit di seluruh dunia. Dan semoga beliau pun bisa mendapatkan nobel dari temuannya ini. Amin.

(Kanazawa, 51215)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun