Mohon tunggu...
Joko Hendarto
Joko Hendarto Mohon Tunggu... Dokter -

Orang Indonesia yang belajar lagi ke negeri orang...

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Mengukur Keikhlasan Seorang Dokter

2 Desember 2015   16:49 Diperbarui: 2 Desember 2015   17:08 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah kisah, seorang ustadz kampung pernah bertanya-tanya soal keikhlasan. Dia kebetulan dipanggil ceramah ke tempat yang jauh dari tempat tinggalnya. Berangkat pagi-pagi, naik turun angkot beberapa kali, kepanasan, belum lagi disambung jalan kaki ke tempat dia hendak membawakan ceramahnya. Sungguh perjalanan yang melelahkan. Usai berceramah, tetua kampung itu pun mendekati sang Ustadz dan berkata, "Saya tahu Ustadz ikhlas, dan tidak mau memperjualbelikan ayat-ayat Tuhan dengan harga murah, dengan itu kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya"

Sang Ustadz hanya terdiam, sekilas apa yang dikatakan tetua itu benar tapi nampaknya ada yang salah. Ikhlas iya, tapi apakah mereka setidaknya berpikir sekedar mengganti uang transpor dan uang makan yang telah dikeluarkannya dari penghasilannya yang tak seberapa untuk datang ke tempat itu? Apakah berarti saat dia menerima sedikit "reward" maka keikhlasannya berkurang atau hilang?

Hal yang sama juga terjadi pada para dokter. Beberapa saat lalu seorang kawan memberikan tautan postingan menarik dari seorang penulis mungkin tepatnya selebritas media sosial, Arman Dhani, yang mengajak perawat, bidan dan guru untuk meniru cara buruh berjuang. Utamanya pelajaran bagaimana kaum buruh bisa sangat didengarkan di republik ini. Loh kok dokter ikut-ikutan juga ya disebut. Bukannya semua dokter sudah kaya? Kalau soal satu ini, saya kira dalam semua profesi seperti itu, ada yang mapan secara ekonomi dan ada juga yang tidak. Apakah tidak ada dokter yang punya masalah terkait pekerjaannya saat ini?

Dokter kan harus ikhlas mengabdi pada kemanusiaan. Pasien harus selalu nomor satu. Itu benar. Namun terkadang ungkapan ini malah digunakan sebagai mantra untuk membungkam para dokter yang mulai sedikit bertanya atas banyak hal. Misalnya, mengapa sih perlindungan tenaga medis, termasuk dokter di daerah terpencil sangat kurang? Hingga beberapa kali berujung pada kematian karena resiko pekerjaannya dan selalu berulang terjadi. Beberapa malam yang lalu, saya dengar ada lagi bidan yang meninggal karena kecelakaan saat mengantar pasiennya yang hendak melahirkan di Papua.

Mengapa sih gaji para dokter internship kadang lebih murah dari UMR buruh?. Kok fasilitas medis dan obat-obatan yang tersedia khususnya di daerah selalu terbatas? Kok tarif jasa medis rawat jalan di rumah sakit versi asuransi negara itu, satu pasien hampir sama dengan biaya parkir di alun-alun? Mengapa sih sudah setahun kita tidak kunjung menerima bayaran jasa medis? Loh kok besaran jasa medis yang kita terima aneh, selalu berkurang drastis setiap bulannya padahal jumlah pasien banyak dan justeru malah bertambah? Waduh, kok asuransi pemerintah tidak mau membayar klaim atas begitu banyak tindakan yang kita lakukan pada pasien?

Beberapa orang kadang dengan tengik mengatakan, ah manja sekali, itu kan untuk pengabdian, sudah terima saja dengan ikhlas. Di beberapa daerah, penguasanya kadang memberikan ancaman pemecatan atau pengusiran dari wilayah tersebut saat ada dokter dan tenaga medis lainnya yang mulai berani bertanya macam-macam.

Dokter yang terlalu banyak bertanya dan mungkin sedikit banyak protes, entah mengapa ada yang menghukuminya sebagai sebuah tanda tak ikhlas dalam mengabdi pada kemanusiaan. Apakah ini benar? Saya kira ada yang salah soal bagaimana kita memahami kata ikhlas dan pengabdian seperti juga yang dialami ustadz diatas. Ini soal hak dan kepantasannya yang layak diterima saat kita sudah mengerjakan sesuatu untuk orang banyak.

Makanya benar juga si Arman Dhani diatas, para dokter harus mulai menguatkan solidaritas sesama mereka seperti buruh dalam memperjuangkan hak-haknya dan juga agar mereka bisa mendapatkan penghargaan yang layak dari negara, dari siapa pun. Masak cuma buruh yang bisa seperti itu, setiap tahun bisa menggertak negara bahkan memaksa negara bernegosiasi dengan mereka.

Apakah tabu seorang dokter misalnya bergerak lebih militan dan lebih keras lagi. Tentu saja tidak, beberapa contoh telah kita lihat di negara-negara yang lebih maju bagaimana dokter pun bisa turun ke jalanan untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang tidak terpenuhi, memperjuangkan sistem kerja yang tidak adil dan lainnya. Dan kita pun telah melakukannya di Indonesia walaupun dengan tema yang kasuistik dan terjadi secara lokal.

Padahal menurut saya ada benang merah dari seluruh masalah diatas secara nasional. Akhirnya selamat bekerja untuk seluruh sejawat semuanya. Tetap ikhlas mengabdi sambil mengingat bahwa ada saat dimana ketidakadilan tidak bisa terus dibiarkan ada dan pada akhirnya harus dilawan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun