Mohon tunggu...
Joko Hendarto
Joko Hendarto Mohon Tunggu... Dokter -

Orang Indonesia yang belajar lagi ke negeri orang...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Antara Pantai Losari, Hanabi dan Keukeun Festival

28 Juli 2015   17:31 Diperbarui: 11 Agustus 2015   21:01 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pantai losari dikabarkan kotor dan semrawut oleh bapak Rahmat Hadi, salah seorang kompasianer, lengkap dengan foto-fotonya. (Linknya bisa dibaca di bawah) Aduh, kabar itu sungguh sangat menyedihkan dan mengecewakan. Artikel yang jadi headline di Kompasiana itu pun ikut saya sebarkan di jejaring sosial. Tentu saja dengan maksud positif agar keadaan memprihatinkan itu segera mendapatkan perhatian dari pemerintah kota juga masyarakat Makassar untuk segera dibenahi. Mappakasiri’-siri’. Hehehe.

Mengapa pantai Losari penting? Coba deh tanya orang-orang yang pernah tinggal di kota itu atau pernah berkunjung ke kota itu tentang apa yang mereka ingat saat bicara Makassar. Salah satunya pasti pantai Losari, lengkap dengan senjanya yang sangat indah juga pisang epe’ nya. Ketika ada teman Jepang yang ingin berkunjung ke Toraja, saya sempat menyarankan singgah dulu di Makassar, menikmati senja di pantai Losari. Tapi setelah baca artikel kawan kompasianer itu, saya langsung bilang mungkin ke Losarinya lain kali saja ya. 

Losari adalah ikon kota Makassar dan merupakan satu dari sedikit ruang publik yang tersedia di kota ini yang banyak mendapatkan kunjungan masyarakat. Jadi ingat saat jadi masih mahasiswa di Makassar, kalau kita lagi suntuk di kampus, habis ujian misalnya, selalu ada kawan yang bilang, “Yuk, ke pantai!”. Tempat itu jadi tempat melepas penat yang ajaib. Lihat matahari tenggelam, sambil menikmati sara’ba atau kopi susu juga pisang epe’ pastinya.

Membaca artikel soal kotor dan semrawunya pantai Losari, saya jadi teringat tiga hari yang lalu, di kota kecil kami, Kanazawa diadakan festival kembang api Hanabi untuk menyambut musim panas. Saya ingin menghubungkannya dengan Losari terkait bagaimana orang Jepang merawat ruang publik mereka. Pusat acara Hanabi diadakan di pinggir sebuah sungai. Untuk kesana, biasanya orang akan ke stasiun kota dulu lalu disediakan bus oleh pemerintah kota dari sana, busnya tidak gratis loh, kita tetap harus membayar.

Hanabi adalah ritual tahunan di Jepang. Orang-orang sejak siang sudah berdandan dengan yukata warna-warni untuk menghadiri acara ini. Yukata ini semacam versi ringan dan ringkas dari kimono, biasanya dipakai saat musim panas. Pokoknya cantik-cantiklah orang Jepang saat hendak ke festival ini. Dan acara kembang apinya memang sangat luar biasa. Dimulai sekitar 7.45 malam, hampir satu jam kita disuguhi atraksi kembang api yang sangat spektakuler. Bisa dibayangkan ya, bagaimana Hanabi di kota lain yang katanya lebih besar, disini saja sudah sangat menakjubkan.

Hal yang sangat mengagumkan bagi saya adalah pengaturan festivalnya. Stand-stand makanan dengan variasi makanan tradisional yang berbeda. Diatur rapi. Pemerintah kota pun menyediakan transportasi massal untuk mengangkut ribuan orang yang hendak ke lokasi kembang api. Setiap 10 menit akan ada bis yang datang dan pergi, padahal daerah itu tampaknya bukan rute padat untuk bus umum sebelumnya. 

Dan kesadaran masyarakat Jepang yang sangat luar biasa akan kebersihan patut diacungi jempol, sesaat setelah kembang api terakhir dinyalakan. Orang-orang segera membereskan bawaannya, termasuk sampah-sampah makanan atau minuman. Dimasukkan ke dalam plastik lalu dibawa pulang. Disana tidak ada tempat sampah juga tidak ada petugas kebersihan khusus untuk membersihkan sampah-sampah pengunjung. Jadi langsung bersih dengan sendirinya. Tidak ada fasilitas publik yang rusak.

Orang-orang pun selanjutnya akan antri secara otomatis ke tempat bus menunggu. Panjang antriannya mungkin ada 5 kilometer lebih. Tidak ada yang dorong-dorongan, berebut. Mereka menunggu dengan sabar hingga gilirannya tiba. Ajaibnya dalam suasanan seramai itu, kita masih bisa bercakap-cakap dengan suara biasa. Nampaknya orang Jepang memang sangat tidak menyukai kebisingan ya.

Keukeun Festival

Tapi mungkin suasana Hanabi kejauhan ya. Baiklah kita ambil contoh yang dekat. Beberapa saat lalu dalam diskusi yang rutin diadakan oleh kawan-kawan PPI Kanazawa, seorang kawan mahasiswa dari Bandung, bapak Prananda Malasan mempresentasikan penelitiannya tentang sebuah festival, “Keukeun Food Festival”. Beliau ternyata juga adalah salah satu penggagas festival itu dari awal. Festival yang katanya telah memasuki tahun kelima di kota Bandung. 

“Keuken” artinya dapur dalam bahasa Belanda, tadinya saya kira bahasa Sunda. Ide ini awalnya untuk memberdayakan warga agar bisa beraktifitas di ruang-ruang publik kota mereka. Katanya kalau mau lihat sebuah kota sehat coba lihat ada tidak ruang publiknya dan seberapa sering warga disana beraktivitas dan menjaga kebersihan serta kenyamanan ruang publik itu. Kalau ruang publiknya tidak terawat, berarti masyarakat di sana belumlah terhubung dengan kotanya. Kota tanpa ruang publik yang baik dan aktifitas warga di ruang-ruang itu sama saja dengan kota mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun