Mohon tunggu...
Joko Hendarto
Joko Hendarto Mohon Tunggu... Dokter -

Orang Indonesia yang belajar lagi ke negeri orang...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kekalahan Ilmu Kedokteran?

15 Juli 2015   21:47 Diperbarui: 15 Juli 2015   21:47 1472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Seperti apa sih sebenarnya seorang dokter dan tenaga kesehatan lainnya serta masyarakat secara umum memposisikan dirinya di tengah gempuran promosi pengobatan alternatif yang diiklankan begitu “vulgar” di media. Promosi yang terus menerus itu tak pelak seolah ingin menunjukkan bahwa pengobatan seperti itu mempunyai kelebihan yang sangat jauh dibandingkan pengobatan standar kedokteran, pengobatan yang diajarkan di fakultas-fakultas kedokteran dan dipraktekkan secara luas dalam dunia kedokteran modern kita. Apakah ini pertanda “kekalahan ilmu kedokteran?”

Coba saja liat koran, iklan televisi bahkan di televisi, terutama televisi lokal di daerah, banyak yang membeli slot waktu untuk penayangan acara pengobatan alternatif ini baik itu produk herbal, suplemen maupun pengobatan dengan menggunakan pendekatan supranatural. Modelnya nyaris serupa, ada yang memberi testimoni, biasanya juga dibumbui dengan penjelasan seputar anatomi fisiologi tubuh yang sering tidak akurat. Ada juga pengobatan yang bersumber pada ajaran agama tertentu dalam memberikan justifikasi. Dan ada yang lebih aneh lagi karena terkadang ada juga dokter yang didatangkan dan berbicara seolah-olah terapi alternatif tersebut benar-benar punya manfaat klinis yang sangat hebat.

Iklan dan acara televisi serupa itu terkadang memberi harapan dan mimpi yang terlalu bombastis bagi para pasien. Penyakit-penyakit yang perlangsungannya kronis  seperti diabetes melitus, hipertensi diklaim bisa dihilangkan dengan total, bahkan kanker dijanjikan bisa dimusnahkan hanya dengan meminum ramuan semata, juga stroke serta penyakit lainnya. Bayangkan ada iklan sandal yang katanya ditemukan seorang dokter dari luar negeri yang diklaim bisa menormalkan produksi hormon insulin untuk pasien diabetes melitus. Bahkan ada juga yang lebih heboh sampai menjanjikan tindakan tanpa operasi untuk penyakit-penyakit yang dalam ilmu kedokteran disarankan untuk operasi jika tindakan itu dipandang sebagai treatment terbaik seperti tumor, katarak dan lainnya. Dan model promosinya pun sama, dengan testimoni dari orang-orang yang katanya telah sembuh dengan pengobatan tersebut.

Kita harus tetap menghormati modalitas pengobatan serupa itu, ya hak setiap orang untuk datang berobat ke tempat mana pun yang mereka inginkan. Bisa dipahami ikhtiar para pasien yang menderita penyakit-penyakit kronis yang tidak bisa disembuhkan secara medis dan memilih melakukan pengobatan alternatif tersebut. Namun rasanya kurang etis menjanjikan kesembuhan kepada setiap pasien, sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh seorang dokter padahal domainnya sama membantu kesembuhan seseorang yang sakit. Khawatir, jangan sampai masyarakat kita mendapat informasi yang tidak berimbang apalagi tidak benar. Dalam teori komunikasi massa, sebuah informasi yang salah jika terus menerus dikomunikasikan maka suatu ketika publik boleh jadi akan mempercayainya sebagai sebuah kebenaran. 

Dengan model promosi yang begitu dahsyat tersebut, masyarakat bisa jadi bingung untuk memilah apakah yang dipromosikan itu benar atau tidak? Sudah banyak kasus yang terjadi dimana pasien meninggalkan pengobatan medisnya sama sekali dan beralih ke pengobatan alternatif namun hasilnya sungguh tidak menggembirakan. Ada kisah nyata tentang pasien penyakit kanker di sebuah rumah sakit ternama di Jakarta, dianjurkan untuk kemoterapi, namun dia menolak. Dia lebih memilih pengobatan alternatif yang dipercayainya dari testimoni-testimoni yang diklaim bisa menghilangkan kanker hingga ke akarnya. Apa yang terjadi, selang beberapa waktu dia kembali lagi namun dengan keadaan yang jauh lebih buruk dan kemoterapi sudah terlalu terlambat untuk dilakukan. Dan ada begitu banyak contoh lain tentang keadaan seperti ini.

Apakah ilmu kedokteran kita menolak pengobatan alternatif seperti produk herbal misalnya, tentu saja tidak. Sudah banyak tanaman yang telah dikembangkan secara farmakologis menjadi produk obat, bahkan sebagian besar obat-obat modern yang kita kenal sekarang  dikembangkan dari substansi dalam tanaman obat. Namun tentunya setelah melalui melalui pengujian dan penelitian serta distandarisasi dengan ketat sehingga aman sebagai terapi atau terapi penunjang bagi pasien. Jika tidak melalui proses itu, maka agak sedikit meragukan. Dalam beberapa kali razia yang dilakukan terhadap produk herbal, terkadang malah dijumpai adanya  substansi kimiawi tambahan yang justeru berbahaya jika digunakan dalam dosis besar dan dalam jangka waktu yang lama. Misalnya penambahan kortikostreoid dalam beberapa produk herbal. Untuk pengobatan alternatif dengan pendekatan supranatural, mungkin tidak terlalu banyak yang bisa didiskusikan secara saintifik.

Lalu bagaimana kita harus bersikap? Selain berharap ada regulasi yang baik dan pengawasan ketat tentang hal ini, rasanya elok bagi kita untuk tetap menjaga sikap skeptis. Tidak mudah percaya begitu saja dengan informasi yang berseliweran baik di media seperti koran, TV ataupun yang juga banyak kita jumpai di internet, di "share" lewat media sosial seperti Facebook. Jangan sampai juga para dokter ikut arus dengan latah mengiklankan sebuah terapi, suplemen atau produk herbal lainnya tanpa punya informasi secara detail dan teruji akan manfaat klinis dari produk terapi tersebut.

Ada dua hal mendasar yang pantas dipertanyakan pada sebuah produk kesehatan dan juga modalitas terapi yang berbeda dengan pengobatan standar. Pertama, mekanismenya menyembuhkan.  Penjelasan tentang mekanisme sebuah produk obat dan terapi bekerja pada tingkat molekuler, seluler atau tingkat sistem organ menjadi penting agar kita yakin bahwa produk atau terapi tersebut memang benar punya efek, tidak cuma serupa “plasebo” menyembuhkan karena efek sugesti semata.

Kedua, apakah ada bukti secara saintifik bahwa pengobatan atau produk tersebut benar-benar bermanfaat? Dalam dunia kedokteran hari ini, kita menganut konsep “Evidence Based Medicine”,  kedokteran berbasis bukti dimana mulai dari cara pemeriksaan, obat dan tindakan yang dilakukan harus benar-benar mempunyai bukti yang kuat bahwa itu adalah yang terbaik bagi seorang pasien serta aman. Berbicara tentang bukti atau “evidence”, bagi para dokter dan mereka yang punya latar belakang ilmu kesehatan umumnya telah diajarkan cara untuk membaca dan mengambil informasi secara kritis dari hasil-hasil penelitian klinis yang telah dipublikasikan. Membaca hasil-hasil penelitian pada jurnal yang bagus tentunya akan menghindarkan kita dari suguhan informasi dari sebuah riset yang kurang terpercaya, hasilnya bisa saja diarahkan, dengan bias disana-sini.

Tentu saja kita pun harus mengakui dengan rendah hati bahwa masih banyak hal yang masih harus terus dipelajari dan diteliti dalam ilmu kedokteran kita. Tapi saya percaya bahwa melalui riset-riset yang dilakukan sekarang, akan banyak kemajuan pengobatan yang akan terus ditemukan di masa depan. Saya tidak bersungguh-sungguh menulis fenomena maraknya  promosi iklan pengobatan alternatif sebagai “kekalahan ilmu kedokteran”, boleh jadi suatu ketika nanti keduanya akan menjadi dua terapi komplementer dengan catatan bahwa modalitas terapi itu benar-benar bermanfaat, tidak hanya mengandalkan kekuatan promosi saja. Hmmm, mudah-mudahan ini bukan kegelisahan pribadi saya saja. Selamat menyambut lebaran, mohon maaf lahir batin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun