Mohon tunggu...
Joko Hendarto
Joko Hendarto Mohon Tunggu... Dokter -

Orang Indonesia yang belajar lagi ke negeri orang...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Dokter "Aspal" dan Evidence Based Medicine

12 Juli 2015   13:29 Diperbarui: 12 Juli 2015   13:29 10729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malangnya, pemberian kortikosteroid tersebut baru dimulai pada sekitar awal tahun 2000-an. Jadi bayangkan sejak pertama hasil uji klinis tersebut ditemukan dan mulai digunakan, ada rentang berapa tahun. Bayangkan berapa ribu bayi-bayi prematur yang bisa diselamatkan jika pengetahuan ini bisa diaplikasikan segera.

Mengapa harus EBM?

Mengapa sih dokter sekarang sedikit-sedikit bicara tentang EBM jika ada tindakan atau modalitas pengobatan baru? Mengapa tidak langsung dipakai saja? Saya jadi teringat saat heboh buah merah dari Papua yang diklaim bisa membunuh virus HIV, penyebab penyakit AIDS. Penderita AIDS yang katanya telah bersih dari virus HIV  karena mengkonsumsi buah merah itu pun diterbangkan dari papua untuk memberikan testimoni di televisi. Dan seketika popularitas buah merah pun meroket. Buah merah diburu dan saat itu harganya menjadi sangat mahal.

Tapi kita bisa lihat sekarang, bahwa fenomena buah merah pun surut drastis. Pasien AIDS yang pernah memberikan kesaksian tentang buah ini, dari berita terakhir yang saya baca ternyata tidak beruntung. Dia meninggal karena komplikasi dari dari penyakit AIDS yang dideritanya.

Kembali ke pertanyaan diatas, kok dokter sampai sebegitunya ya. Tentu saja, karena ilmu kedokteran tidak dibangun atas dasar testimoni dan pengakuan semata. Sebelum sebuah obat baru, tindakan baru digunakan dalam praktek kedokteran secara luas, terlebih dahulu harus dilakukan serangkain penelitian dasar dan klinis panjang untuk membuktikan benarkah obat atau tindakan tersebut punya manfaat klinis dan yang paling penting harus aman.

Jika kita ambil contoh buah merah diatas, maka ada beberapa pertanyaan yang terlebih dahulu harus dijawab, misalnya seperti apa sih efek buah merah dalam membunuh sel-sel virus? Bagaimana mekanismenya pada level sel hingga mungkin DNA? Apa zat dalam si buah yang bisa membunuh atau menghentikan replikasi virus tersebut? Bagaimana keamanan zat-zat tersebut bagi pasien sendiri? Dan tidak berhenti disitu. Virus HIV adalah virus yang sangat mudah sekali mengalami mutasi. Pertanyaan berikutnya, sejauh mana efektifitas zat aktif dalam buah merah dalam membunuh bermacam-macam strain virus HIV yang muncul karena proses mutasi? Apakah jika diujicobakan pada sel, lalu pada hewan coba hasilnya sama dengan uji pada manusia? Apakah benar efeknya benar-benar karena zat aktifnya ataukah karena kebetulan semata? Pertanyaan terakhir biasanya akan dijawab secara statistik setelah melalui percobaan dan observasi dan tentu saja sebelumnya harus didesain  dengan benar sejak awal.

Pertanyaan-pertanyaan diatas tentu tidak bisa dijawab tanpa melalui penelitian panjang dan bertingkat. Bisa bertahun-tahun dilakukan. Kalau ada yang pernah membaca soal uji klinis ini, ada 4 level yang harus dilalui setelah pertanyaan dasar tentang zat yang akan diuji dan mekanismenya bisa terjawab. Dan regulasi penelitian uji klinis ini teramat ketat. Kita tidak bisa potong kompas misalnya dengan menguji sebuah zat obat baru pada manusia jika pada penelitian pada sel dalam cawan petri atau pada hewan coba, obat itu ternyata tidak punya efek atau bahkan tidak aman. Jika pun sudah sampai pada uji dengan subjek manusia, penelitiannya pun bisa dihentikan jika ditemukan satu saja efek yang berbahaya dari zat tersebut pada subjek.

Jadi tujuan utama mengapa dokter harus berdasar pada bukti ilmiah adalah untuk memberikan pelayanan terbaik dan juga menjamin keamanan terapi pada pasiennya. Saya ambil contoh lain, saat saya sekolah misalnya jika ada pasien tifus maka saya dulu diajarkan untuk memberikan kloramfenikol, salah satu jenis antibiotik sebagai pilihan pertama pada pasien tersebut. Tapi dari penelitian-penelitian terbaru ditunjukkan data bahwa di Indonesia telah banyak ditemukan, resistensi kuman Salmonella typhii, penyebab tyfus, terhadap Kloramfenikol. Ada juga penelitian lain yang dilakukan untuk menguji antibiotik alternatif apa yang bisa diberikan pada kuman yang sudah resisten itu. Jika saya ngotot tetap menggunakan pengalaman dari apa yang pernah saya pelajari dan mungkin berhasil di masa lalu, kira-kira apa yang bisa terjadi?

Dokter dan EBM

Saya mengambil judul artikel ini diatas dari sebuah artikel bagus yang ditulis oleh Prof. Wimpie Pangkahila, guru besar dari fakultas kedokteran universitas Udayana di Media Indonesia, 18 Juni 2015. Maaf jika judulnya jadi agak sedikit sarkastik. Dalam tulisan itu Prof. Wimpie terutama menyoroti perilaku beberapa dokter yang mungkin mirip dokter Oz ini. Bagi beliau, dokter-dokter yang melakukan tindakan atau memberikan terapi yang tidak punya dasar EBM kuat adalah dokter asli tapi palsu. Dia memberikan contoh misalnya ada dokter yang mempromosikan detoksifikasi dengan hanya mencelupkan kaki ke dalam semacam larutan yang katanya bisa mengeluarkan zat racun dari dalam tubuh melalui kaki. Atau juga yang menyuntikkan oksigen pada pasiennya padahal  menurut beliau tindakan itu belum punya cukup bukti ilmiah karena penelitiannya baru dilakukan pada binatang coba.

Ada satu lagi yang menarik tentang  seorang dokter yang ramai diperbincangkan dalam sebuah grup yang saya ikuti beberapa hari yang lalu. Pasalnya, dia, sang dokter itu dengan manisnya menggunakan jas dokter dengan stetoskop di leher, lalu muncul dalam sebuah acara TV Show tentang terapi alternatif.  Tapi anehnya “si dokter”  malah memberikan testimoni dan penjelasan tentang penggunaan dan manfaat batu giok untuuk mengobati beberapa penyakit. Saya juga bingung pada kuliah mana itu dipelajari di kedokteran ya? Atau telah ada mata kuliah “Gioklogi” sekarang ini. Bagi Prof Wimpie, perilaku seperti itu adalah perilaku yang tidak pantas, bahkan beliau menulis di artikel itu dengan tegas bahwa dengan melakukan tindakan seperti itu sebenarnya si dokter telah mengubur profesionalitasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun