Mohon tunggu...
Joko Hendarto
Joko Hendarto Mohon Tunggu... Dokter -

Orang Indonesia yang belajar lagi ke negeri orang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pentingkah Islam bagi Kami?

11 Juli 2015   14:53 Diperbarui: 11 Juli 2015   15:02 3119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya terkesan dengan sebuah kutbah jumat di mesjid kecil kami di kota Kanazawa beberapa saat yang lalu. Temanya, bagaimana bersikap sebagai seorang muslim di tempat asing, seperti Jepang ini. Bagian paling menarik bagi saya adalah saat sang penceramah, seorang mahasiswa mesir dengan bahasa inggris yang fasih memulainya dengan perbincangan soal akhlak. Katanya, di negara liberal seperti Jepang label agama akan langsung terhubung dengan perilaku penganutnya, walaupun mereka sesungguhnya tidak terlalu peduli dengan agama. Ya di Jepang, orang bisa lahir dengan ritual Shinto, menikah di gereja dan merayakan natal setiap Desember, dan ketika meninggal mereka pun dikebumikan dengan ritual Budha. Tapi mereka santai saja dan tak pernah menganggap itu hal yang aneh.

Kita kembali pada kutbah kawan diatas. Pak khatib itu katanya pernah ditanya oleh seorang kolega Jepangnya. “Coba beri saya alasan kenapa menurutmu Islam penting bagi kami. Dari segi ekonomi, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi kami lebih maju dari kalian. Kehidupan sipil dan pelayanan publik kami juga lebih baik. Soal disiplin dan ketekunan, saya kira orang Jepang adalah salah satu yang terbaik di dunia”. Dibombardir pertanyaan seperti itu bingung juga katanya memberi jawaban. Apa coba jawabannya?

Disini orang-orang akan melakukan penilaian tidak dimulai dari soal-soal teologis tentang tauhid dan segala macamnya, tapi katanya, dari cara kita bersikap dan berlaku dalam kehidupan sosial. Tak penting bagi mereka berapa banyak Tuhan yang disembah dan dengan cara apa.  

Dan informasi tentang islam yang sampai ke mereka kadang memang agak kurang berimbang. Ada beberapa yang percaya soal kedekatan islam dengan terorisme, dengan semangat anti sains dan anti demokrasi, juga perlakuan yang buruk pada perempuan. Kecurigaan ini diperparah dengan pemenggalan dua orang warga Jepang dipenggal oleh ISIS beberapa saat yang lalu. peristiwa yang membuat suasana sedikit mencekam. Untungnya pemerintah dan polisi bergerak cepat dengan memberikan penjelasan pada warganya dan menjamin keamanan kaum muslimin disini.

Di Kanazawa, kawan-kawan kemudian membuat open house di mesjid dan mengundang warga Jepang untuk datang. Disana mereka menjelaskan serupa apa islam itu pada warga. Islam yang tentu saja dengan tafsiran damai dan sangat anti kekerasan dan teror seperti yang dilakukan oleh ISIS. Kegiatan ini diliput oleh TV dan juga koran lokal. Dan Alhamdulillah, warga Jepang yang hadir sangat antusias dan suasana tetap kondusif hingga kini.  

Lalu bagaimana bersikap dalam keadaan demikian. Sekali lagi dimulai dari akhlak kata pak khatib. Contoh kecil yang beliau angkat sang adalah soal menepati janji. Di sini kalau ada orang Jepang berjanji mau datang ke rumah kita jam 3 sore. Jam 3 kurang 10 menit biasanya mereka sudah ada di depan rumah kita, namun mereka tidak akan masuk hingga jam 3 teng. Mereka akan menunggu. Menepati janji dan menghargai waktu dengan tepat bagi mereka adalah sebuah kehormatan. Coba bandingkan dengan kebiasaan kita soal waktu yang kadang terasa ajaib ini. Molor sejam kadang dianggap wajar dan biasa, tanpa harus disesali dengan wajah berdosa. Hehehe.

Ada satu contoh lagi yang lain, pernah diceritakan oleh seorang kawan dari kampus lain, semacam institut teknologi di Kanazawa. Alkisah, kampus mereka melakukan tur wisata untuk mahasiswa asing. Kampus pun mengumpulkan sejumlah iuran dari para peserta untuk membiayai tour tersebut. Sepulang dari acara tur, pihak kampus menghitung dari dana yang digunakan ternyata ada sisa saldo 10 yen. Mereka pun mencari tahu siapa kordinator peserta tur itu untuk mengembalikan sisa uang tersebut. Si kawan itu berpikir, apa sih arti 10 sen itu, sudah diikhlaskan saja. Benda termurah di Jepang ada kisaran 80-100 yen. 10 yen bisa dipake apa itu. Tapi ternyata tidak, bagi mereka 10 yen itu adalah hak para peserta tur yang harus dikembalikan. Lalu setelah di email berulang-ulang, akhirnya kawan itu pun datang ke International Student office untuk mengambil sisa uang 10 yen itu. Mendengar kisah kawan tadi, saya cuma bisa geleng-geleng kepala, sampai segitunya ya.

Lalu apa hubungannya contoh diatas  dengan tema ceramah pak khatib? Pesannya jelas, kata si khatib, jadilah representasi islam dengan menunjukkan bahwa kita bisa "berakhlak" sama baiknya atau lebih dari mereka. Saat sekali kita tidak menepati janji dengan mereka misalnya atau mungkin lalu berkali-kali, maka mereka akan berpikir, wah ternyata orang islam begitu ya. Termasuk soal menaati aturan dan regulasi yang ada. Jika sampai pada soal aturan, tak ada tawar menawar. Dan saya kira sepakat dengan penceramah diatas, kita berada di lingkungan baru harusnya bisa beradaptasi dengan tata aturan mereka, tidak seenaknya membawa kebiasaan dari negeri sendiri yang mungkin kurang bisa diterima oleh mereka.

Menarik ulasan penceramah diatas bagi saya, walaupun kadang tak mudah menjadi contoh di tempat dimana kebajikan-kebajikan sosial sudah menjadi perilaku otomatis suatu komunitas seperti di Jepang ini. Pesannya hampir mirip dengan ceramah berbeda dari seorang kawan mahasiswa Indonesia, ahli fisika beberapa jumat sebelumnya bahwa selain melaksanakan kewajiban-kewajiban formal, islam juga harus ditunjukkan dengan kemampuan pemeluknya untuk menguasai sains dan teknologi seperti orang-orang Jepang itu. Mumpung kita disini, mari tunjukkan pada mereka bahwa semangat, kesungguhan dan ketelitian kita melakukan penelitian-penelitian itu sama baiknya dengan mereka. Dan ini tanggung jawab kita bersama untuk membuktikan tudingan bahwa islam tidak kompatibel dengan sains dan teknologi modern, sungguh salah besar.

Akhirnya coretan-coretan ini sekedar refleksi. Semoga kita bisa belajar dari setiap tempat baru yang kita datangi, juga berbagi hal-hal baik yang mungkin kita miliki. Dan cara terbaik adalah dengan mengajarkannya lewat sikap dan perilaku yang sama baiknya. Kata ahli komunikasi, orang hanya percaya 10-20 % apa yang kita katakan, selebihnya mereka akan percaya apa yang mereka lihat kita lakukan. Dan orang yang sangat rasional seperti orang Jepang ini tentu tak akan tertarik belajar tentang islam jika melihat perilaku penganutnya kok tidak lebih baik dari mereka. Dan jika itu terjadi, saya kira boleh jadi pertanyaan dari yang muncul dari orang Jepang diatas, tak akan pernah bisa kita jawab. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun