Mohon tunggu...
Joko Hendarto
Joko Hendarto Mohon Tunggu... Dokter -

Orang Indonesia yang belajar lagi ke negeri orang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pada Sebuah Malam di Kobe

11 Juli 2015   08:05 Diperbarui: 11 Juli 2015   08:05 1543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Kompas Travel

Pukul 23.30. Di Kobe, jalan-jalan masih ramai. Tipikal kota urban yang hidup 24 jam. Tak ada yang remang disini. Ini kota dengan cahaya yang berpendar terang dari lampu jalanan, dari  warna-warni billboard iklan. Sebuah kota ultramodern yang bangkit setelah pernah luluh lantak oleh gempa maha dahsyat beberapa tahun silam. Kota ini bagi saya  adalah kota yang terus berikhtiar. Manusia-manusianya terus mencari  jalan untuk melawan keterbatasan yang diberikan alam. Mega konstruksi anti gempa, sistem transportasi yang begitu canggih berjalan otomatis dan terkoneksi satu dengan yang lain. Port Island (Rokko Island), pulau yang diuruk di atas laut. Saya kira keberadaannya jauh sebelum orang mengenal the Palm Island di Dubai sana. Di atasnya ada airport, pelabuhan, gedung-gedung megah, apartemen dan universitas. Ini mungkin jawaban, dengan sains dan teknologi manusia selalu punya jawaban, selalu punya harapan.

Dan di sebuah kedai, di sudut perempatan, di seberang stasiun Sannomiya, saya larut menikmati Kobe. Seusai simposium kawan-kawan singgah, mereka ingin melepas penat dengan minum sake. Saya memesan secawan Ocha dan Tempura. Di sini tak ada kopi tubruk. Dan rasanya ajaib, sake, ocha, tempura, sashimi  dan lainnya dinikmati dengan iringan Jazz yang lembut namun menyayat. Ada rasanya yang bertabrakan, mungkin tidak, mungkin mereka saling memberi ruang untuk ada. Secawan sake dan ocha, representasi tradisi  Jepang bisa ada dan bersisian dengan musik yang dilahirkan oleh para budak  dari tanah yang jauh, New Orleans.

Jepang mungkin tempat di mana segala hal bertemu namun tidak saling membunuh. Lewat pintu terbuka dari dalam kedai, saya pun menikmati orang lalu lalang. Eksekutif muda dengan jas dan pantalon, remaja dengan dandanan modis ala Harajuku. Tapi modernitas bagi mereka bukan berarti werternisasi. Mereka mungkin boleh kelihatan seperti bule dengan rambut di cat pirang, mereka  "generation X" yang hidup dengan segala perangkat paling canggih yang pernah kita bayangkan.  Tapi ada yang tidak berubah, mereka tetap mencintai sake, soba, ramen dan udon dan tetap tak bisa melafalkan "l", karena huruf itu tak ada dalam aksara mereka.

Tapi bagaimana modernitas bisa membuat akar mereka tidak tercerabut? Bagaimana modernitas tidak menjadi semacam gerak algojo yang membabat semua hal yang berasal dari masa lampau karena dianggap tidak lagi membawa semangat kemajuan. Sama ketika Attaturk di Turki membabat jenggot, mengganti aksara arab dengan aksara latin, melarang jilbab dan simbol keagamaan lain ditampilkan di hadapan publik,  karena dia menganggap itu semua membawa kejumudan. Bagi Attaturk, barat dan segala pernak-pernik budayanya adalah masa depan dan segala hal yang berasal dari timur adalah artefak sejarah yang cukup disimpan dalam museum. Attaturk tentu saja tak sama dengan Meiji dengan Restorasi Meiji-nya. Restorasi yang dimulai saat komodor Perry membuka paksa pelabuhan-pelabuhan Jepang lewat perjanjian dengan sang kaisar. Kedatangan Armada Perry itu membuka mata, betapa Jepang sangatlah tertinggal, ada dunia besar di luar mereka yang terus bergerak maju.

Ada beberapa literatur sejarah yang coba saya telusuri. Beberapa buku dan jurnal tentang Jepang. Tapi rasanya saya lebih suka mengulas sebuah film saat membuat coretan-coretan ini. “The Last Samurai”. Film bagus yang diperankan oleh Tom Cruise, walau saya lebih mengingat Kayo yang manis, istri samurai yang dibunuh oleh Tom Cruise dalam sebuah pertarungan. Tapi Kayo tidak menyimpan dendam, kematian suaminya dalam pertarungan adalah sebuah kehormatan sebagai samurai. Ah betapa rumitnya pilihan itu. Sesuatu yang sampai kini tak juga saya pahami.

Mungkin banyak yang telah menyaksikan film ini, bagaimana modernitas berhadap-hadapan dengan budaya lokal dengan sangat keras dan berdarah. Singkat cerita, akhirnya para samurai dengan pedang dan panah itu tak bisa menahan terjangan peluru dari senapan dan ledakan meriam dari para serdadu yang dilatih ala barat. Mereka semua, para samurai itu  mati bersimbah darah dalam sebuah perang di sebuah padang yang mungkin mereka tahu tak akan bisa mereka menangkan.  Mesiu dan peluru akhirnya menggantikan seluruh perangkat perang tradisional yang mereka gunakan sebelumnya. Tak lagi ada baju zirah dengan topeng menakutkan, panah dan juga katana.

Namun maut kadang adalah pesan yang lebih nyaring dari suara paling keras sekalipun. Kematian para samurai itu, membuka mata banyak orang bahwa ada nilai, ada kehormatan, ada disiplin, ada semangat tak pernah menyerah dan ada rasa malu akan kegagalan yang tak ikut mati bahkan saat ratusan kesatria itu satu-satu roboh diterjang peluru. Dan itu adalah semangat mereka, semangat Jepang, semangat para samurai yang diwariskan pada mereka.  Di akhir cerita, sang kaisar dengan trenyuh mengingat para ksatria yang dicintainya dan juga mencintainya dengan sangat. Dia tidak menampik modernitas agar Jepang bisa seperti negara-negara besar lainnya, tapi dia tidak ingin negerinya kehilangan akar. Dia tetap ingin rakyatnya mewarisi semangat para samurai yang telah rela menjadi martir.

Saya sekali lagi membayangkan "The Last Samurai"  saat memandang langit kota Kobe lalu mengingat Indonesia, negeri tercinta. Saya merindukannya dan  membayangkan suatu ketika Indonesia juga sama majunya namun tidak harus tercerabut dari akarnya, seperti Jepang. Malam semakin larut dan sayup-sayup, “The girl from Ipanema”  menghangatkan langit di kota Kobe malam ini.

(Sepotong catatan lepas saat berkunjung ke Kobe beberapa saat yang Lalu)

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun