Mohon tunggu...
Joko Hendarto
Joko Hendarto Mohon Tunggu... Dokter -

Orang Indonesia yang belajar lagi ke negeri orang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Islam dan Fenomena "Cocoklogi"

10 Juli 2015   19:08 Diperbarui: 10 Juli 2015   19:08 7982
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa saat belakangan ini banyak sekali postingan-postingan di Facebook yang mengklaim punya penjelasan ilmiah atas beberapa fenomena agama, khususnya agama islam. Menarik sebagai bahan bacaan ringan tapi nampaknya agak sedikit berbahaya jika kemudian diberi embel-embel “penjelasan atau fakta ilmiah”.

Saya jadi ingat di sebuah grup yang isinya sebagian besar dosen, seorang kawan pernah kelimpungan. Dia memposting bahwa kata seorang professor dari luar negeri, Ka’bah adalah pusat semikonduktor bumi. Itu terjadi karena adanya gerakan thawaf terus menerus mengelilinginya. Mungkin beliau ingin membuat pembaca takjub bahwa coba lihat, betapa benarnya ajaran islam sehingga seorang professor barat pun memberi testimoni.

Namun persoalan kemudian muncul karena ternyata pembaca dalam grup tersebut banyak yang sangat kritis, namanya juga dosen, banyak para ahli disana. Mereka mempertanyakan banyak hal semacam apa sih maksud pusat semikonduktor bumi itu? Bagaimana mekanisme thawaf bisa menjadikan Ka’bah pusat semikonduktor bumi? Ini kesimpulannya dari penelitian dengan pendekatan apa, fisika atau geologikah? Siapa sih professor itu, dimana kita bisa melacak hasil penelitiannya? Di jurnal mana sih hasil penelitian ini diterbitkan? 

Kontan saja, kawan itu kaget karena ternyata postingannya mendapatkan komentar dan pertanyaan yang begitu serius. Dia tak mampu memberi penjelasan, mungkin tidak sempat atau “tidak pernah” membaca apa yang dipostingnya itu dengan kritis sebelumnya, seperti banyak kebiasaan dari kita yang hanya baca judul dan klik “share”. Parahnya postingan itu ternyata tak punya tautan referensi sama sekali, tak ada penjelasan saintifik saat kita ingin tahu kok bisa, bagaimana caranya dan bagaimana membuktikan mekanisme itu benar. Mungkin kawan itu lupa bahwa saat kita menyematkan kata “ilmiah” pada suatu statemen maka kebenaran statemen itu harus bisa diverifikasi, harus punya bukti sahih yang bisa memberi penjelasan mengapa kesimpulan ilmiah itu muncul.

Hal diatas, serupa dengan sebuah artikel yang juga banyak di share di facebook sebelumnya dan sudah lama saya ingin menulis sedikit komentar atasnya. Judulnya keren, “Fakta Ilmiah di balik Waktu Sholat”. (Linknya disini, http://9trendingtopic.blogspot.jp/2015/04/subhanallah-inilah-fakta-ilmiah-dibalik.html). Awalnya saya tertarik membaca artikel singkat ini karena ada kata-kata “fakta ilmiah”-nya. Walaupun kemudian saya malah menemukan banyak hal yang sangat merisaukan hati. Dan karena latar belakang keilmuan saya, malah jadi ragu, benarkah ini adalah sungguh fakta ilmiah. Coba perhatikan beberapa bagian-bagian awal dari artikel tersebut di bawah ini, saya tidak ingin mengutip semuanya.

Pada waktu subuh, alam berada dalam spectrum warna biru muda yang bersesuaian dengan frekuensi tiroid (kelenjar gondok). Dalam ilmu Fisiologi (Ilmu Faal-salah satu dari ilmu biologi yang mempelajari berlangsungnya sistem kehidupan) tiroid mempunyai pengaruh terhadap sistem metabolisma tubuh manusia. Warna biru muda juga mempunyai rahasia tersendiri berkaitan dengan rejeki dan cara berkomunikasi. Mereka yang masih tertidur nyenyak pada waktu Subuh akan menghadapi masalah rejeki dan komunikasi. Mengapa? Karena tiroid tidak dapat menyerap tenaga biru muda di alam ketika roh dan jasad masih tertidur. Pada saat azan subuh berkumandang, tenaga alam ini berada pada tingkatan optimum. Tenaga inilah yang kemudian diserap oleh tubuh kita terutama pada waktu ruku dan sujud.

Waktu Duhur, alam berubah menguning dan ini berpengaruh kepada perut dan sistem pencernaan manusia secara keseluruhan. Warna ini juga punya pengaruh terhadap hati. Warna kuning ini mempunyai rahasia berkaitan dengan keceriaan seseorang. Jadi bagi mereka yang selalu ketinggalan atau melewatkan sholat Zuhur berulang kali akan menghadapi masalah dalam sistem pencernaan serta berkurang. 

Saya takjub campur bingung membaca paragraf-paragraf diatas. Di buku dan jurnal mana ya yang telah sangat ekstensif menelaah hubungan warna dengan fungsi fisiologis dan psikologis manusia. Tak ada satupun penjelasan dalam buku-buku fisiologi kedokteran standar yang coba saya cari, menjelaskan hubungan warna biru muda dengan metabolisme kelenjar di tiroid. Atau warna kuning dengan sistem pencernaan, juga keceriaan. Soal keceriaan dan warna-warni ini mungkin kawan psikolog bisa memberi penjelasan. Apalagi hubungan warna oranye dengan sistem reproduksi manusia pada bagian lain dari artikel itu.

Saya pun coba mencari paper penelitian-penelitian yang terkait dengan beberapa fakta yang diklaim ilmiah ini namun sama sekali tak menemukannya satu pun. Kalaupun akan dibuat penelitian, bagaimana cara mendesainnya ya. Saya sangat berterima kasih sekali jika ada yang bisa mengirimkan referensi untuk mengobati kebingungan saya ini.

Artikel serupa ini menurut saya agak sedikit berbahaya karena menggunakan nama “Islam” namun tidak disertai data dan fakta ilmiah yang benar, bahkan bisa jadi tidak punya dasar sama sekali. Sayangnya banyak teman-teman yang terpelajar juga ikut-ikutan menyebarnya. Dugaan saya, hanya karena terpengaruh judulnya yang wah dan kelihatan keren menghubungkan sains dan islam. Bagaimana jika informasinya salah? Tentu saja bukan Islamnya yang salah tapi hal yang diklaim sebagai fakta ilmiah itulah yang tak punya dasar. Dan parahnya jika kemudian ada yang serta merta mempercayai informasi itu sebagai sebuah kebenaran. Waduh.

Saya kira kita harus belajar dari kesalahan institusi gereja Katolik di abad pertengahan yang terlalu dalam mengintervensi kebenaran sains agar cocok dengan ajaran teologis mereka. Saat itu gereja bersikukuh menyatakan bahwa bumi datar, dia punya ujung, tidak bulat, dan mataharilah yang bergerak mengelilinginya. Mereka yang menolak paham itu dicap berdosa, heretik dan dikucilkan oleh gereja. Pada zaman itu dikucilkan gereja berarti mendapat hukuman yang sangat berat.

Tapi kita semua tahu bahwa hasil-hasil penelitian ilmiah selanjutnya di bidang astronomi dan fisika yang telah dirintis oleh ilmuwan yang sempat dikucilkan gereja, Galileo Galilei menunjukkan fakta sebaliknya. Gereja salah, bumilah yang berputar mengelilingi matahari. Demikian pula fakta-fakta bahwa bumi itu bulat, tidak datar, akhirnya dibuktikan oleh para penjelajah eropa semacam Columbus yang menggunakan prinsip itu untuk menemukan benua baru Amerika. Untung gereja mengakui kesalahannya dan mau merehabilitasi nama Galileo Galilei pada beberapa tahun yang lalu.

Memaksakan penjelasan yang dianggap saintifik terhadap fenomena atau ritual agama boleh jadi malah tidak membuat agama menjadi lebih saintifik. Kalau tidak hati-hati bisa berubah menjadi lelucon yang tidak lucu, seperti soal warna-warna diatas dan fungsi fisiologis tubuh dihubungkan dengan waktu shalat diatas. Lebih mirip penjelasan dalam ramalan bintang atau primbon. Saya tertarik ucapan Einstein yang dikutip dalam buku John C. Lennox, God and Stephen Hawking, sebuah buku bagus yang ditulis seorang ahli filsafat sains dari Pitsburg University. Buku ini ditulis untuk menyanggah kerancuan filosofis dalam buku Hawking, The Grand Design yang berujung pada kesimpulan bahwa tak mungkin ada peran Tuhan dalam penciptaan alam semesta.

Einstein mengatakan bahwa dalam hubungan sains dan agama, dia mengambil posisi bahwa agama bisa memberi fondasi moral bagi sains, karena ya, memang sains bukan soal baik dan tidak. Kata kuncinya penjelasan moral, bukan ikut-ikutan memberikan penjelasan saintifik yang memang tidak secara detail ditemukan dalam kitab suci. Dan sebaliknya, kita tidak bisa memaksakan untuk membuat landasan santifik terhadap ajaran agama, dan saya kira juga beberapa fenomena keagamaan lainnya yang sukar dinalar. Sains tidak perlu terlalu dipaksakan memberi penjelasan atas banyak hal dalam agama yang memang cuma bisa diterima oleh iman.

Contoh kecilnya bagi umat islam soal larangan makan babi. Kok dilarang? Ada yang memberi alasan ilmiah karena daging babi bisa menyebabkan penyakit cacing pita. Taenia solium. Penyakit ini memang menakutkan. Apalagi jika kista cacingnya bersarang di otak menyebabkan epilepsi, koma hingga kematian. Tapi ya, itu kalau babinya tidak dipelihara dengan baik dan bersih. Juga dagingnya tidak dimasak sampai matang hingga kista cacingnya mati. Apakah kalau misalnya babinya bersih, dimasak sampai matang tidak menyebabkan kecacingan lalu daging babi menjadi halal? Tentu tidak bukan.

Akhirnya tulisan lepas ini mungkin sekedar atau semacam refleksi pribadi saja agar mungkin kita bisa berhati-hati agar terlepas dari jebakan "cocoklogi" yang menurut saya kurang pantas. Semoga kita bisa lebih kritis membaca sebuah berita sebelum menyebarnya ke media sosial agar kita tidak berkontribusi menyebarkan informasi yang salah.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun